Negara-negara ASEAN dihimbau untuk tidak lagi bersikap diam menghadapi sikap agresif Cina di Laut China Selatan. Sikap berdiam diri justru akan memperkuat kecenderungan Cina untuk melakukan aksi agresif dan bullying terhadap negara-negara yang memiliki ketumpangtindihan wilayah dengan China di Laut China Selatan.
Kesimpulan di atas mencuat dalam diskusi berjudul “China and Maritime Security in the South China Sea: Indonesian and Philippine Perspectives,” yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, kemarin.
Forum itu menghadirkan Juru Bicara Coast Guard Filipina (PCG) untuk Laut Filipina Barat merangkap Staf Khusus Komandan Laut Filipina Barat, CG Commodore Jay T Tarriela, Direktur Kerja Sama Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) Laksamana Pertama (Bakamla) Eka Satari, serta pemerhati hubungan internasional Universitas Paramadina Dr. Mohammad Riza Widyarsa.
Baca Juga: China Sukses Menyatukan Palestina, Indonesia Angkat Topi
Ketua FSI Johanes Herlijanto berpandangan bahwa alih-alih berdiam diri, negara-negara ASEAN justru perlu meningkatkan kerja sama internal, sambil masing-masing memperkuat kapasitas pertahanannya.
“Dengan demikian, maka upaya negara-negara ASEAN untuk mencegah Cina melakukan tindakan agresif di kawasan Asia Tenggara tak lagi semata-mata bergantung pada kekuatan-kekuatan luar kawasan, tetapi pada solidaritas antar negara-negara ASEAN, yang diperkuat oleh dukungan publik dari masing-masing negara,” tuturnya.
Johanes menambahkan bahwa strategi yang telah dilaksanakan oleh Filipina dalam menghadapi tindakan agresif Cina patut diapresiasi dan dianggap sebagai pelajaran bagi negara-negara ASEAN lainnya.
Sebelumnya, dalam pemaparannya, Commodore Jay T Tarriela mengemukakan secara detil strategi yang diambil oleh pemerintah Filipina dalam menghadapi tindakan-tindakan agresif Cina. Sebagai catatan, yang dimaksud sebagai tindakan-tindakan agresif Cina oleh Commodore Tarriela dan Johanes Herlijanto di atas adalah sebuah taktik yang oleh para pemerhati hubungan internasional disebut sebagai taktik zona abu-abu (grey zone).
Baca Juga: UMKM Boleh Gigit Jari, Produk Impor dari Cina Makin Tinggi! Sumbang 35,20%
Menurut Johanes, taktik itu meliputi pemanfaatan tiga komponen yang sebenarnya masih berada di bawah kendali Komite Militer Pusat (CMC) pimpinan langsung Presiden Xi Jinping, yaitu milisi maritim yang beroperasi sebagai nelayan-nelayan sipil, Penjaga Pantai (Coast Guard) Cina, dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat, untuk menghadirkan gangguan-gangguan di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara yang oleh Cina diakui sebagai miliknya berdasarkan 9 garis putus-putus yang ditarik secara sepihak oleh Cina.
Menghadapi taktik grey zone yang terus-menerus berlangsung itu, pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos, Jr. mendesain sebuah strategi yang dapat dianggap sebagai sebuah kelanjutan dari strategi-strategi yang telah digunakan sebelumnya.
“Berdasarkan perenungan terhadap strategi-strategi yang telah diterapkan oleh presiden-presiden sebelumnya, Presiden Marcos memutuskan untuk mencanangkan strategi transparansi, yang pada hakikatnya bertumpu pada upaya mengekspos aksi-aksi agresif Cina di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina,” tutur Commodore Tarriela.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Advertisement