Pengasuh Ponpes Bina Insan Mulia Cirebon Beri Catatan Kritis tentang Program Sekolah Rakyat
Kredit Foto: Ist
Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH. Imam Jazuli, menilai bahwa ironi bangsa ini datang bertubi-tubi dan seolah tiada henti.
Salah satu contohnya adalah program pemerintah yang belakangan ramai dibicarakan, yakni Sekolah Rakyat (SR), yang menurutnya terkesan dilematis.
Menurut Kiai Imam Jazuli, anggaran sebesar Rp 1,19 triliun untuk satu program semacam itu terlalu besar dan tidak proporsional
Ia menyarankan agar dana sebesar itu lebih baik dialokasikan untuk memperbaiki kualitas sekolah-sekolah yang sudah ada namun kondisinya sangat memprihatinkan.
"Semestinya diperuntukkan untuk sekolah-sekolah yang sudah ada namun rendah kualitasnya," kta Kiai Imam yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia) periode 2010–2015, Kamis (10/7/2025).
Ia juga mengkritisi pernyataan Wakil Menteri Sosial (Wamensos) Agus Jabo Priyono yang menyebut program Sekolah Rakyat merupakan bagian dari upaya pemerintah menyiapkan generasi unggul menuju Indonesia Emas 2045.
Menurut Kiai Imam, niat tersebut memang layak diapresiasi, namun tidak relevan jika melihat realita saat ini.
Saat ini, banyak sekolah dasar negeri yang justru ditutup karena kekurangan murid. Beberapa sekolah lainnya mengalami kerusakan parah seperti atap bocor saat hujan dan dinding dari anyaman bambu. Bahkan, ada guru sekolah dasar yang terlilit utang dan memutuskan mengakhiri hidupnya.
"Persoalan-persoalan konkret semacam ini mestinya diperhatikan terlebih dahulu sebelum memikirkan pekerjaan baru,” tegasnya.
Jika pemerintah memang serius ingin membangun generasi masa depan, lanjutnya, maka pekerjaan rumah yang masih menumpuk harus diselesaikan terlebih dahulu.
Di satu sisi, program Sekolah Rakyat adalah wujud niat tulus pemerintah. Namun di sisi lain, kesannya justru pemerintah tega membiarkan sekolah-sekolah lama dalam kondisi jauh dari standar.
"Seakan-akan pemerintah menormalisasi kualitas rendah sekolah-sekolah yang sudah ada selama ini,” ucapnya.
Ia menambahkan, bisa jadi memperbaiki sekolah-sekolah yang sudah ada tidak akan menimbulkan efek viral.
Sebab, memperbaiki sekolah adalah kewajiban, bukan pencapaian luar biasa. Sedangkan program Sekolah Rakyat dianggap lebih cocok dengan kebutuhan era digital, di mana efek viral menjadi tujuan utama. Apalagi, jika program ini berhasil, pemerintah bisa memperoleh apresiasi publik yang lebih luas.
"Namun, seperti pepatah lama mengatakan, “Lebih baik makan singkong daripada bermimpi makan keju.” Memperbaiki sekolah yang sudah ada memang terasa seperti makan singkong—kurang bergengsi dan tidak viral. Tapi tetap lebih baik dan nyata manfaatnya dibandingkan hanya bermimpi. Terlebih, program Sekolah Rakyat ini hanya menyasar 100 titik dengan total 9.700 siswa," jelasnya.
Ia menambahkan jika targetnya hanya 9.700 siswa dengan anggaran sebesar Rp 1,19 triliun, maka pemerintah patut belajar kepada Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, yang menggratiskan pendidikan bagi 15.000 santri.
"Setiap hari, ponpes tersebut mampu menyediakan tujuh ton beras dan tetap mandiri tanpa bantuan dari pemerintah," tandasnya.
Lebih ironis lagi, lanjut Kiai Imam, adalah rencana Kementerian Sosial yang akan menyiapkan 9.700 unit laptop untuk siswa Sekolah Rakyat. Baginya, hal ini menunjukkan tidak adanya koordinasi antar kementerian. Data Kemendikbudristek tahun 2021 mencatat bahwa sekitar 77,7% atau 421.000 satuan pendidikan dari PAUD hingga SLB belum memiliki komputer dan perangkat teknologi informasi.
Dengan kata lain, jika laptop-laptop tersebut dialokasikan untuk sekolah yang benar-benar membutuhkan, dampaknya hanya bisa mengurangi kebutuhan sebesar 2,3%. Masih tersisa 75,4% kekurangan perangkat. Artinya, program Sekolah Rakyat ini tidak akan berdampak besar secara keseluruhan.
“Pertanyaannya sekarang, seandainya Rp 1,19 triliun dan 9.700 unit laptop diberikan kepada sekolah-sekolah yang ada, apakah generasi emas masa depan tidak akan lahir? Jika seluruh anggaran untuk program Sekolah Rakyat dialokasikan untuk memperbaiki sekolah yang sudah berjalan, apakah Indonesia Emas 2045 tidak akan terwujud?” ujarnya mempertanyakan.
Jika pemerintah menjawab “tidak”, itu berarti mereka meragukan pencapaian dan kerja Kementerian Pendidikan. Pernyataan semacam itu sama saja dengan mengakui bahwa sistem pendidikan saat ini telah gagal, sehingga perlu hadir program baru yang lebih baik, yakni Sekolah Rakyat. Dan itu mencerminkan bahwa pemerintah tidak solid dalam kebijakan, karena masing-masing kementerian berjalan sendiri-sendiri dengan program masing-masing.
Bagi Kiai Imam, problem utama bangsa ini bukan terletak pada kualitas lembaga pendidikan, melainkan pada kebijakan pendidikan.
Pemerintah dinilai menutup mata terhadap banyaknya sekolah yang tidak layak, baik dari sisi infrastruktur maupun sumber daya manusianya.
Jika harus menilai secara jujur, Kiai Imam yakin bahwa program Sekolah Rakyat ini sama sekali tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat akar rumput. Program ini, katanya, tidak merakyat, tidak populer, dan tidak relevan.
“Sekolah Rakyat hanya akan relevan apabila 421 ribu sekolah yang tidak punya komputer dibelikan komputer. Sekolah Rakyat hanya akan relevan apabila sekolah yang tidak punya atap dibelikan genteng dan diperbaiki atapnya. Sekolah yang menggunakan anyaman bambu dibangunkan gedung,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement