Kredit Foto: Kemenperin
Menteri Perindustrian RI, Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan Indonesia kini tengah mengembangkan pendekatan baru dalam industrialisasi yang berpijak pada konteks global yang berubah cepat, sekaligus menjawab tantangan dalam negeri yang kian kompleks.
Hal ini disampaikan Menperin dalam kuliah umum di Universitas Hiroshima, Jepang, bertema “Strategi Baru Industrialisasi Indonesia untuk Ketahanan Pangan dan Energi”, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Kemenperin Tumbuhkan Kewirausahaan Hijau di Generasi Muda
Kegiatan dalam rangka kunjungan kerja di Negeri Sakura seusai menghadiri World Expo Osaka 2025 itu dihadiri oleh mahasiswa, dosen, peneliti, serta kalangan industri Jepang.
“Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Asta Cita, sebuah visi pembangunan nasional yang mencakup delapan misi besar. Enam di antaranya kini telah dioperasionalkan melalui sebuah kerangka strategis yang disebut sebagai Strategi Baru Industrialisasi Nasional (SBIN),” kata Menperin, dikutip dari siaran pers Kemenperin, Jumat (18/7).
Menperin menegaskan, SBIN ini bukanlah sekadar lanjutan dari pendekatan masa lalu, melainkan pembaharuan dari gagasan-gagasan terbaik dalam ekonomi pembangunan, yang telah disesuaikan dengan konteks Indonesia serta tertanam dalam realitas global yang multipolar, terdigitalisasi, dan bergerak menuju dekarbonisasi.
Untuk mewujudkan visi besar tersebut, Kementerian Perindustrian menjalankan empat program utama yang saling terkait dan saling menguatkan dalam kerangka SBIN. Program pertama adalah hilirisasi sumber daya alam. “Hilirisasi bukan lagi jargon politik semata, melainkan bentuk nyata dari pergeseran struktural dalam model ekonomi,” ungkapnya.
Menperin mencontohkan, hingga tahun 2019, Indonesia masih mengekspor nikel, bauksit, dan minyak sawit dalam bentuk mentah. Produk-produk ini menciptakan nilai tambah yang rendah, lapangan kerja yang terbatas, dan menghasilkan keuntungan yang tidak stabil. Namun sejak saat itu, pemerintah mulai mewajibkan pengolahan sumber daya tersebut di dalam negeri melalui kebijakan hilirisasi.
“Transformasi ini terlihat jelas di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Dahulu merupakan daerah yang relatif terisolasi, kini Morowali menjelma menjadi pusat industri yang kompetitif secara global, menjadi rumah bagi klaster perusahaan multinasional di sektor pemurnian nikel dan komponen baterai,” tuturnya.
Di kawasan itu, puluhan ribu tenaga kerja Indonesia kini terlibat dalam produksi baja nirkarat dan nikel sulfat berkualitas tinggi untuk baterai. Model serupa juga tengah diterapkan pada komoditas lainnya seperti bauksit, tembaga, dan minyak sawit. “Bahkan saat ini, Indonesia sedang memasuki rantai nilai baru untuk komoditas strategis seperti kobalt, litium, dan tanah jarang, yakni unsur-unsur penting dalam mendukung transisi energi hijau global,” imbuhnya.
Program kedua, pentingnya penguasaan teknologi industri. Agus menjelaskan, melalui peta jalan Making Indonesia 4.0, pemerintah memacu transformasi industri dari sistem produksi tradisional menuju sistem yang lebih cerdas, terhubung, dan terintegrasi secara digital.
“Di sektor tekstil, misalnya, kini telah diimplementasikan penenunan berbasis sensor dan sistem pewarnaan tanpa limbah. Selanjutnya, di sektor makanan dan minuman, teknologi blockchain diterapkan untuk ketertelusuran produk dari hulu ke hilir. Sementara, pada sektor komponen otomotif, integrasi teknologi mendorong perakitan robotik dan sistem logistik just-in-time,” ujar Menperin.
Menurutnya, perubahan ini tidak hanya menyasar perusahaan besar. Ribuan industri kecil dan menengah (IKM) juga telah diperkenalkan pada teknologi serupa melalui pusat-pusat keunggulan dan pelatihan yang didanai oleh pemerintah, termasuk kerja sama erat dengan lembaga pelatihan dan industri di Jepang.
Agus menyampaikan, program ketiga adalah industrialisasi hijau, yang menyatakan bahwa era pembangunan yang mengorbankan lingkungan demi pertumbuhan ekonomi telah usai. Sebab, pasar, pemodal, dan regulator kini menuntut industri untuk memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan. Karena itu, strategi industrialisasi Indonesia kini mengadopsi prinsip ecological modernization.
Contohnya, di Kawasan Industri Batang, Jawa Tengah, pemerintah telah mewajibkan sistem penggunaan kembali air limbah, efisiensi energi, dan penerapan simbiosis industri. Di Jawa Barat, limbah dari pabrik minyak kelapa sawit diolah menjadi biogas dan digunakan sebagai bahan bakar industri. Di Sumatera, pabrik semen memanfaatkan abu terbang (fly ash) dari pembangkit listrik sebagai bahan baku alternatif.
“Semua upaya ini menjadi bagian dari transisi menuju ekonomi sirkular. Indonesia tidak hanya ingin memenuhi standar ESG (environmental, social, and governance), tetapi juga ingin menurunkan biaya produksi, meningkatkan daya saing industri, serta menarik lebih banyak investasi hijau,” ujarnya.
Untuk program keempat, Menperin menyoroti pentingnya pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai fondasi dari keberhasilan industrialisasi. Tanpa adanya tenaga kerja yang terampil, insinyur, wirausahawan, dan inovator, semua strategi tidak akan berjalan optimal. Oleh karena itu, pemerintah terus memperkuat pendidikan vokasi melalui pembangunan politeknik, revitalisasi pusat kejuruan, serta pemanfaatan platform pembelajaran digital.
Jepang, menurut Menperin, telah memainkan peran sangat penting dalam proses tersebut. Melalui kerja sama dengan berbagai institusi pendidikan dan industri Jepang, Indonesia kini memiliki kurikulum bersama di bidang robotika, permesinan presisi, otomatisasi pabrik, dan material berkelanjutan. “Lulusan dari program ini tidak hanya mendapatkan gelar akademik, tetapi juga keterampilan yang relevan secara global serta pengalaman langsung di dunia industri,” terangnya.
Menperin berharap, kolaborasi Indonesia dan Jepang di bidang pendidikan dan industri akan semakin kuat di masa depan. Ia mengajak seluruh peserta untuk bersama-sama membangun masa depan industri yang berkelanjutan, tangguh, dan inklusif, demi menghadapi tantangan global dan mewujudkan ketahanan nasional di bidang pangan, energi, dan kesehatan.
Kedaulatan pangan-energi
Dalam kuliah umum tersebut, Menperin juga menekankan bahwa strategi industrialisasi Indonesia saat ini dibangun di atas prinsip kedaulatan. Namun kedaulatan yang dimaksud bukanlah bersifat isolatif, melainkan sebagai bentuk kapasitas dan kemampuan nyata dalam mengelola sumber daya dan sistem produksi secara mandiri.
Dalam konteks ketahanan pangan misalnya, kedaulatan berarti Indonesia tidak cukup hanya menanam padi, tetapi juga harus mampu mengolah, menyimpan, mendistribusikan, serta menjamin akses nutrisi yang merata ke seluruh pelosok nusantara. Sementara itu, dalam bidang energi, kedaulatan tidak sekadar berarti menambang batu bara atau gas alam, tetapi mencakup pengembangan kilang domestik, produksi biofuel, pemanfaatan teknologi energi terbarukan, hingga pembangunan infrastruktur penyimpanan, transmisi, dan inovasi energi berkelanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Advertisement