- Home
- /
- News
- /
- Megapolitan
Gaza Terkini: Gencatan Senjata, Krisis Kemanusiaan, dan Solidaritas Global
Oleh: Naomi, Rachmasari, dan Dewi, Tim CIReS FISIP UI
Kredit Foto: Istimewa
Hingga kini, konflik bersenjata antara Israel dan Hamas yang terjadi sejak Oktober 2023 masih terus berlanjut dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang sangat parah di Jalur Gaza, dengan jutaan warga sipil yang masih hidup dalam kondisi darurat. Meskipun telah ada upaya gencatan senjata yang dimediasi oleh AS, Qatar, dan Mesir pada Juli 2025, perundingan masih berjalan dengan alot karena adanya gejolak politik di antara kedua belah pihak.
Baca Juga: Arab Saudi: Prioritas Utama Adalah Gencatan Senjata Permanen di Gaza
Mengingat urgensi dan dampaknya yang terus berkembang, CIReS LPPSP FISIP UI bekerja sama dengan Human Initiative menggelar webinar bertajuk “Gaza Terkini: Gencatan Senjata, Krisis Kemanusiaan, dan Solidaritas Global”, tanggal 22 Juli 2025 dengan menghadirkan narasumber dari Kementerian Luar Negeri, akademisi, serta relawan MER-C. Kegiatan ini menghadirkan empat pembicara utama: Ahrul Tsani Fathurrahman (Direktur Timur Tengah, Kementerian Luar Negeri RI), Agung Nurwijoyo, M.Sc. (Dosen HI UI/Peneliti CIReS), Prof. Dr. Ani Widyani Soetjipto, M.A. (Guru Besar HAM dan Jender HI UI), dan dr. Regintha Yasmeen, Sp.OG. dari MER-C. Diskusi dipandu oleh moderator Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang, Ph.D., dan dihadiri oleh peserta dari berbagai latar belakang.
Dalam paparannya, Ahrul Tsani menekankan pentingnya melihat konflik Gaza secara multidimensi—politik, kemanusiaan, hukum internasional, dan dinamika internal Palestina. Tsani menyatakan bahwa Indonesia secara konsisten menegaskan bahwa akar konflik adalah penjajahan ilegal oleh Israel. Pemerintah Indonesia juga mendorong solusi dua negara, gencatan senjata permanen, dan akses penuh bagi bantuan kemanusiaan. Upaya diplomatik Indonesia dijalankan secara berkelanjutan, termasuk melalui forum multilateral dan penegakan hukum internasional seperti ICJ dan ICC. Tsani juga memaparkan lima skenario masa depan Gaza dari laporan “Gaza: A Vision of Hope”, seraya menegaskan bahwa diplomasi Indonesia terus bergerak aktif di tengah stagnasi global.

Sementara itu, Agung Nurwijoyo memetakan dinamika geopolitik Timur Tengah dan memperlihatkan bahwa solidaritas kawasan terhadap Palestina terpecah dalam tiga poros: resistensi, mediasi, dan normalisasi. Ia menyebut bahwa konflik Gaza memperlihatkan pola “perang abadi” (perpetual war) yang digunakan Israel untuk mempertahankan kontrol. Agung juga menyoroti bahwa dukungan terhadap Palestina di level publik Timur Tengah tetap tinggi namun tidak seragam, dan tantangan solidaritas global masih sangat besar.
Dari perspektif hak asasi manusia, Prof. Ani Soetjipto menegaskan bahwa Gaza adalah potret paling nyata dari runtuhnya tata kelola HAM global. Prof. Ani menyoroti standar ganda negara-negara besar, lemahnya institusi internasional seperti Dewan Keamanan PBB, serta ketimpangan struktural dalam sistem hukum internasional yang mengakar pada kolonialisme dan imperialisme. Dalam konteks ini, HAM kerap menjadi alat politik negara-negara kuat, bukan prinsip universal. Prof. Ani menyerukan perlunya redefinisi terhadap makna universalitas HAM, dan pentingnya peran masyarakat sipil global untuk melawan dehumanisasi terhadap rakyat Palestina.
Baca Juga: Gereja Katolik Diserang, Paus Leo Langsung Kutuk Serangan Israel di Gaza
dr. Regintha Yasmeen, Sp.OG, relawan dari MER-C, menyampaikan situasi nyata di lapangan yang jauh lebih parah dari pemberitaan media. Ia menyoroti kesulitan akses logistik, termasuk hambatan dalam pengiriman uang, makanan, dan alat medis. Kendati demikian, ia menyatakan bahwa masyarakat Gaza tetap menyambut dengan hangat kehadiran relawan, dan menegaskan bahwa aksi solidaritas kemanusiaan tetap sangat dibutuhkan meski tantangannya makin besar. dr. Regintha juga menyampaikan bahwa MER-C hingga saat ini masih akan terus mengusahakan agar bantuan-bantuan dari masyarakat Indonesia untuk Palestina dapat tersampaikan dan terdistribusi dengan baik di tengah berbagai restriksi yang ada.
Diskusi ini menjadi forum penting untuk merespons tragedi kemanusiaan di Gaza secara empatik dan analitis. Topik ini semakin relevan mengingat eskalasi kekerasan yang terus terjadi dan minimnya akuntabilitas pelaku pelanggaran HAM di wilayah tersebut. Keempat narasumber sepakat bahwa konflik Gaza bukan hanya soal politik atau agama, melainkan persoalan kolonialisme, dehumanisasi, dan kegagalan tatanan global. Solidaritas global perlu diperkuat tidak hanya dalam bentuk bantuan, tetapi juga dalam upaya reformasi tata kelola internasional, narasi media, serta pembelaan terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal.
CIReS LPPSP FISIP Universitas Indonesia berharap diskusi ini tidak hanya memperluas pemahaman publik dan merumuskan kontribusi akademik yang bermakna. Namun juga menjadi motor penggerak masyarakat internasional dalam hal ini organisasi masyarakat sipil maupun pemerintah Indonesia dalam membangun solidaritas global. Solidaritas global menjadi krusial demi mengentaskan krisis kemanusiaan dan membawa kedamaian di Gaza.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement