- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Harga Anjlok, APNI Minta Evaluasi Hilirisasi dan Produksi Nikel Nasional
Kredit Foto: Ist
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), mendesak pemerintah untuk segera melakukan pengendalian produksi dan menerapkan standar keberlanjutan nasional menyusul kondisi oversupply nikel global yang kian memukul industri hulu di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, mengatakan berdasarkan laporan lembaga internasional terbaru menunjukkan bahwa Indonesia saat ini menyumbang lebih dari 50% pasokan nikel dunia.
Disisi lain, permintaan global terutama dari sektor baterai kendaraan listrik dan baja nirkarat (stainless steel) belum mampu menyerap lonjakan pasokan tersebut. Akibatnya, harga nikel global terus tertekan, margin keuntungan menyempit, dan pelaku usaha pertambangan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) berada dalam tekanan berat.
Baca Juga: Beban Administratif Mengintai, APNI Tolak Skema RKAB 1 Tahun
“Kita tidak bisa hanya fokus menambah kapasitas tanpa memperhatikan permintaan. Ini saatnya pemerintah melakukan kontrol produksi dan menyesuaikan arah hilirisasi,” ujar Meidy dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (5/8/2025).
Meidy mengatakan, data dari FERROALOY memperkuat kekhawatiran ini. Produksi nickel pig iron (NPI) di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara porsi ferronickel (FeNi) tetap kecil.
Menurunya, ketimpangan ini menunjukkan dominasi strategi volume tanpa mempertimbangkan daya serap pasar internasional. APNI menilai bahwa lonjakan produksi tanpa kontrol hanya akan memperparah tekanan terhadap harga dan merugikan pelaku usaha nasional.
Baca Juga: PT Gag Nikel tetap Aman, APNI Buka Suara Soal Pencabutan IUP Empat Perusahaan Tambang Raja Ampat
Oleh karena itu, asosiasi mendorong pemerintah untuk segera meninjau ulang kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), Harga Patokan Mineral (HPM), serta arah hilirisasi agar industri tetap kompetitif dan berkelanjutan.
Selain itu, APNI menekankan pentingnya penerapan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) nasional sebagai bentuk komitmen terhadap praktik pertambangan berkelanjutan. Langkah ini dinilai krusial untuk mempertahankan akses ekspor ke negara-negara mitra dagang yang kini semakin menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan lingkungan dan sosial.
“Standar ESG bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga strategi mempertahankan daya saing ekspor di pasar global yang makin selektif,” ujarnya.
APNI berharap pemerintah segera merespons situasi ini dengan kebijakan yang terukur agar industri nikel nasional tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu tumbuh secara berkelanjutan di tengah tekanan pasar global.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement