
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyatakan keberatan terhadap rencana pemerintah menaikkan tarif royalti nikel dari 10% menjadi progresif 14% hingga 19%. Keberatan tersebut telah disampaikan dalam surat resmi yang dikirimkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Komisi VII dan Komisi VI DPR RI, hingga Presiden Republik Indonesia.
"Ya, termasuk ke Presiden. Selain ke Presiden, Komisi XII DPR RI, Komisi VI DPR RI, kemudian Menko Ekonomi, Dewan Ekonomi Nasional, Kepala Staf Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan, Menteri Perdagangan, sampai BKPM," kata Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, kepada Warta Ekonomi, Selasa (25/3/2025).
Menurut Meidy, selain kenaikan royalti, perusahaan tambang juga harus menghadapi berbagai beban biaya lain, seperti kenaikan tarif bahan bakar biodiesel dari B30 ke B40, kenaikan upah minimum regional (UMR) sebesar 6,5%, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik menjadi 12%.
Baca Juga: Negara Butuh Dana, APNI Usul Atur Tarif Kobalt daripada Tekan Pengusaha dengan Royalti
Belum lagi, lanjut Meidy, eksportir nikel diwajibkan menempatkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) 100% di dalam negeri selama satu tahun serta menghadapi penerapan pajak minimum global sebesar 15%.
Dia menambahkan, jika tarif royalti naik dari 10% menjadi 14-19%, maka beban perusahaan akan semakin berat. Berdasarkan perhitungan APNI, tarif royalti 14% berlaku jika harga nikel mencapai US$18.000 per ton. Namun, analis global memperkirakan harga nikel tahun ini justru akan terus menurun.
Baca Juga: APNI: Naiknya Royalti Nikel Bisa Tumbangkan Pendapatan Perusahaan
"Kalau biaya produksi yang terlalu tinggi, di mana harga makin turun, tentu kan perusahaan tidak ada margin lagi. Nah, bagaimana kalau perusahaan tidak ada margin? Pada saat dia tidak ada margin, tentu dia akan mengurangi kapasitas produksi. Kalau sudah mengurangi kapasitas produksi, ujung-ujungnya penerimaan negara jadi berkurang," ujar Meidy.
APNI juga mencatat berbagai kewajiban tambahan yang harus dipenuhi perusahaan tambang, seperti iuran tetap tahunan, pajak bumi dan bangunan, jaminan reklamasi dan penutupan tambang, serta biaya rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS). Selain itu, perusahaan juga harus membayar retribusi pemakaian air, pajak alat berat, pajak air permukaan, hingga sponsor acara di tingkat daerah dan nasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement