Kredit Foto: Istimewa
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), menilai rencana pemerintah yang berencana mengubah kembali masa persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun berpotensi menimbulkan beban administratif, menghambat investasi, dan mengganggu stabilitas produksi sektor pertambangan.
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyatakan bahwa perubahan skema RKAB menjadi tahunan perlu dikaji ulang dari sisi efisiensi waktu, biaya, dan kapasitas evaluasi pemerintah.
Pasalnya, saat ini, terdapat lebih dari 4.100 izin pertambangan aktif di seluruh Indonesia, terdiri atas 3.996 IUP, 15 IUPK, 31 KK, dan 58 PKP2B.
"Jika masa RKAB kembali menjadi satu tahun, maka ribuan perusahaan harus mengajukan persetujuan setiap tahun. Bagaimana mengevaluasi ribuan dokumen secara tepat waktu tanpa menghambat investasi, produksi, dan kontribusi industri tambang bagi perekonomian nasional?" ujar Meidy dalam pernyataan resminya, Rabu (3/7/2025).
Baca Juga: Pemerintah Kaji Ulang Skema RKAB Tambang
Meidy mengatakan skema RKAB tiga tahunan yang diatur dalam Permen ESDM No. 10/2023 telah terbukti memberikan kepastian usaha dan efisiensi, baik bagi perusahaan maupun pemerintah. Oleh karena itu, asosiasi menyampaikan sejumlah masukan konstruktif agar kebijakan ini tetap relevan dan adaptif terhadap kondisi industri.
Pertama, RKAB tiga tahunan dinilai penting untuk menjaga stabilitas perencanaan investasi dan operasional perusahaan. Kedua, pemerintah disarankan untuk memperkuat pengawasan berbasis realisasi produksi tahunan agar target tidak melampaui permintaan pasar domestik maupun global.
Ketiga, APNI menolak sistem revisi volume pada semester akhir yang kerap menjadi celah proyeksi berlebihan. Sebagai gantinya, asosiasi mendorong penyesuaian berbasis realisasi output tahunan agar lebih terukur dan akuntabel.
Keempat, APNI meminta agar pemerintah fokus pada implementasi pengawasan Permen ESDM No. 10/2023, tanpa mengubah struktur dasar RKAB yang sudah berjalan. Kelima, asosiasi menyoroti perlunya evaluasi terhadap Kepmen ESDM No. 84/2023 yang membatasi produksi tidak boleh melebihi kapasitas dalam studi kelayakan.
Baca Juga: Skema RKAB Akan Diubah, Asosiasi : RKAB Tiga Tahun Lebih Efektif
"Aturan ini justru mendorong perusahaan mengajukan kenaikan produksi secara agresif, yang berisiko menimbulkan overproduction bijih nikel—terutama saat permintaan smelter domestik stagnan atau melemah karena harga global turun dan biaya produksi meningkat," jelas Meidy.
Meidy melanjutkan, kepastian regulasi dan konsistensi kebijakan merupakan fondasi utama dalam menjaga iklim investasi yang sehat dan mendorong keberhasilan hilirisasi.
"APNI meyakini bahwa kebijakan yang konsisten, berbasis data, dan melibatkan stakeholders industri akan menjaga kepastian usaha, mendorong efisiensi, serta memastikan kontribusi optimal sektor tambang nikel bagi devisa dan hilirisasi nasional," ucapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa perubahan regulasi yang terlalu sering dan tidak konsisten menimbulkan ketidakpastian hukum, menyulitkan pelaku usaha dalam menyusun rencana investasi, serta mengganggu pasokan untuk sektor hilirisasi.
Baca Juga: DPR dan ESDM Sepakat Ubah Skema RKAB Jadi 1 Tahun
Untuk itu, asosiasi meminta agar perubahan kebijakan hanya dilakukan bila sangat mendesak dan berbasis data, serta melibatkan pelaku industri dalam proses penyusunan kebijakan agar sesuai dengan kondisi di lapangan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement