Kredit Foto: BPMI Setpres
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menargetkan dalam 10 tahun ke depan energi listrik di Indonesia dapat dihasilkan oleh energi baru terbarukan (EBT) 100%. Ambisi ini mengundang decak kagum sekaligus memunculkan pertanyaan apakah hal tersebut hanya sekadar omon-omon semata.
Pasalnya, dari total kapasitas pembangkit nasional sebesar 105 gigawatt (GW) yang saat ini terpasang, EBT hanya menopang sebesar 14,5% dari total kapasitas. Realisasi target bauran EBT pun diturunkan dari 23% menjadi 17–19% pada tahun 2025 ini.
“Energi baru terbarukan adalah masa depan. Kita harus genjot pembangunan pembangkit dari surya, dari hidro, dari panas bumi, dan dari bioenergi. Indonesia harus menjadi pelopor energi bersih dunia. Kita harus capai 100% pembangkitan listrik dari energi baru dan terbarukan dalam waktu 10 tahun atau lebih cepat,” ujar Prabowo dalam Pidato Pengantar RAPBN 2026 dan Nota Keuangan di Rapat Paripurna DPR, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Baca Juga: IESR Sebut Investasi EBT RI Lambat, Anak Buah Rosan: Investor Masih ‘Wait and See’
Melansir data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Mei 2025, total kapasitas pembangkit listrik nasional mencapai 105 GW, dengan 78,5 GW dikelola oleh PLN dan mitra produsen listrik independen (IPP). Dari total tersebut, 41,4 GW (53%) berasal dari PLTU berbasis batu bara dan 23,14 GW (29%) dari gas.
Sementara itu, porsi EBT di sistem PLN masih terbatas, yakni PLTA sebesar 6,4 GW, panas bumi 2,69 GW, PLTS 370 MW, bayu 150 MW, dan bioenergi 100 MW.
Adapun pembangkit listrik di luar sistem PLN, termasuk pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Sendiri (IUPTLS) dan Pemegang Persetujuan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (PPU), menyumbang 26,3 GW. Komposisinya masih didominasi PLTU (61%), disusul pembangkit berbasis bioenergi dan gas.
Baca Juga: Komisi VI DPR Dukung Prabowo yang Mau Pangkas Jumlah Komisaris BUMN dan Hapus Tantiem
Memasuki semester I 2025, utilisasi EBT hanya naik 0,6%. Tercatat kapasitas pembangkit berbasis EBT hanya bertambah 876,5 megawatt (MW). Hal ini membuat porsi bauran EBT naik dari 14,68% pada 2024 menjadi 15,2%, atau hanya sekitar 14,5% dari total kapasitas pembangkit nasional.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menjelaskan target ambisius ini bisa saja menjadi omon-omon bila dijalankan tanpa perencanaan yang jelas. Ia menilai ambisi ini perlu didukung oleh kebijakan yang tepat, menggaet investor untuk pendanaan, alih teknologi, hingga transfer pengetahuan.
“Sebab tanpa itu hanya omon-omonnya Prabowo saja tanpa harus direalisasikan,” ujarnya kepada Warta Ekonomi, Jumat (15/8/2025).
Baca Juga: Bahlil: Kapasitas Pembangkit RI Naik 4,4 GW di Semester I 2025, EBT Hanya Tumbuh 0,6%
Bila mengacu pada Rencana Usaha Penambahan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW dalam 10 tahun, dengan 76% berasal dari EBT dan sistem penyimpanan energi. Pada lima tahun pertama, akan dibangun pembangkit 27,9 GW, terdiri atas 9,2 GW berbasis gas, 12,2 GW EBT, 3 GW sistem penyimpanan, serta 3,5 GW PLTU batu bara yang tengah diselesaikan konstruksinya.
Memasuki lima tahun kedua, fokus bergeser ke pengembangan EBT dan penyimpanan energi sebesar 37,7 GW atau 90% dari total kapasitas yang direncanakan. Sisanya sebesar 3,9 GW masih berasal dari pembangkit berbasis fosil seperti batu bara dan gas. Artinya dalam 10 tahun ke depan masih ada penambahan pembangkit fosil, tidak seperti yang disampaikan oleh Prabowo.
Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Ishak Razak, menilai komitmen Prabowo sangat baik, namun perlu disertai dukungan kebijakan dan anggaran yang selaras.
Baca Juga: Target 23% Bauran EBT 2025 Masih Jauh, Realisasi Baru 14,5%
“Seperti diketahui, realisasi EBT masih di bawah 15%. Target pemerintah selalu meleset karena kebijakan yang kurang mendukung. Pemerintah perlu mendorong Danantara untuk mengalokasikan investasi yang lebih besar untuk EBT,” katanya kepada Warta Ekonomi.
Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan mengganti pembangkit fosil secara keseluruhan dalam satu dekade tidaklah mudah.
“Mengganti seluruh pembangkit listrik fosil dalam waktu 10–15 tahun tidak mudah dan tidak murah. Secara teknis yang mungkin dilakukan adalah memenuhi pertambahan kebutuhan energi listrik dari sumber energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang. Saya kira ini bisa dilakukan, tapi harus dengan cara-cara baru, tidak bisa dengan cara yang sama seperti masa lalu,” ujarnya pada Warta Ekonomi.
Fabby mengatakan, untuk mencapai hal itu Presiden membuat program nasional energi terbarukan yang implementasinya dilakukan oleh badan khusus atau satgas. Opsinya adalah memperkuat Satgas Transisi Ekonomi Hijau dan Transisi Energi di Kemenko Perekonomian. Satgas ini bertugas menyusun rencana, peta jalan, dan strategi untuk mewujudkan visi tersebut. Anggotanya terdiri atas K/L terkait.
Baca Juga: PLN Gandeng Kampus dan Riset Nasional Genjot EBT, Siap Hadapi Tantangan Transisi Energi
Selain itu, pemerintah juga harus menghapus kuota PLTS atap sehingga konsumen listrik dapat ikut berperan membangun PLTS. Hal ini akan membuka pasar PLTS dan baterai (BESS).
"Izinkan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik (PBJT) yang memungkinkan percepatan pemanfaatan energi terbarukan tersebar. Restrukturisasi PLN, termasuk memberikan tarif listrik yang mencerminkan biaya dan margin yang wajar untuk public utility," ucapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement