Kredit Foto: Azka Elfriza
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendorong percepatan pengembangan asuransi parametrik sebagai instrumen mitigasi risiko bencana di Indonesia. Langkah ini dinilai penting, terutama menghadapi potensi gempa megathrust yang diperkirakan bisa memicu tsunami di kawasan Selat Sunda.
Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, mengatakan pihaknya melalui PT Reasuransi Maipark Indonesia (Maipark) tengah mengintensifkan riset dan sosialisasi produk asuransi berbasis parametrik. Upaya ini juga melibatkan kerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) yang telah menghasilkan peta jalan implementasi.
“Kita perlu effort yang luar biasa, tidak hanya dari semua pemangku kepentingan, tetapi juga dari pemerintah agar dapat mendorong masyarakat atas kebutuhan penutupan asuransi gempa bumi atau yang berbasis parametrik ini,” ujar Budi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (1/9/2025).
Baca Juga: Kucing Uya Kuya dan Eko Patrio Dijarah, AAUI Ingatkan Pentingnya Asuransi Hewan
Sebagai tindak lanjut, AAUI berencana menyerahkan roadmap tersebut kepada Kementerian Keuangan sebagai bahan rekomendasi kebijakan. Salah satu usulan adalah penerapan asuransi wajib bencana, khususnya gempa bumi, dengan opsi premi bersumber dari sebagian potongan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
“Dari mana preminya? Kita akan coba usulkan dari potongan-potongan PBB yang kita kutip setiap tahun. Dari situ bisa disisihkan untuk dilakukan mitigasi risiko sebagai perlindungan aset masyarakat,” jelas Budi.
Selain untuk aset individu, diskusi dengan pemerintah juga diarahkan pada perlindungan aset milik pemerintah daerah. Skema parametrik diusulkan tidak hanya menutup risiko gempa bumi, tetapi juga banjir. Implementasi kebijakan ini ditargetkan dapat difinalisasi pada 2026.
Baca Juga: Kerusakan Imbas Demo Meluas, AAUI Minta Klaim Asuransi Dipercepat
Wakil Ketua AAUI Bidang Statistik dan Riset, Trinita Situmeang, menambahkan, asuransi parametrik bekerja dengan trigger atau pemicu yang ditentukan dalam polis. Sebagai contoh, polis bisa mencantumkan magnitudo gempa 6,5 pada kedalaman tertentu, dan klaim akan otomatis dibayarkan jika parameter tersebut terverifikasi oleh lembaga berwenang.
“Ini dipahami oleh industri asuransi dan reasuransi di seluruh dunia sebagai salah satu produk yang bisa digunakan masyarakat, diinisiasi oleh pemerintah maupun lembaga donor,” kata Trinita.
Ia menekankan, penerapan skema parametrik harus berbasis data historis kegempaan yang spesifik pada tiap daerah. “Kalau satu negara, bebannya terlalu besar. Perlu perencanaan daerah spesifik dengan informasi kegempaan yang memadai,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Azka Elfriza
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement