Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tangkal Upaya Memecah Belah Bangsa, Solidaritas Antar Etnik Dipandang Ampuh

Tangkal Upaya Memecah Belah Bangsa, Solidaritas Antar Etnik Dipandang Ampuh Kredit Foto: Istimewa

Sejarahwan Didi Kwartanada memberi penekanan kepada tokoh-tokoh aktivis Tionghoa yang berkiprah sebelum berdirinya Republik Indonesia (RI), semasa pemerintahan orde lama dan pada masa periode orde baru.’ 

Salah satu dari tokoh menarik yang dibahas adalah Mr. Tjan Gwan Kwie, seorang pengacara yang membela petani yang dirampas tanahnya di daerah Pakel, Banyuwangi, pada tahun 1943. Sedangkan untuk periode pasca kemerdekaan Indonesia, Didi merujuk pada Mr. Yap Thiam Hien sebagai salah satu contoh dari tokoh-tokoh Tionghoa yang berjuang bagi keadilan. 

“Yap Thiam Hien adalah tokoh komunitas Tionghoa dan aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia di Indonesia,” jelas Didi. Namanya diabadikan sebagai nama dari penghargaan bagi pejuang HAM, yaitu Yap Thiam Hien Award. 

Ravando Lie, peneliti pasca doktor pada Monash University, Australia, membawa kembali ingatan publik pada kiprah Sinpo, media milik komunitas Tionghoa yang turut berkiprah menyampaikan pandangan-pandangan yang kritis terhadap pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1920-an hingga 1930-an. 

Pada tahun itu Dirk Fock, yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda antara 1921 dan 1926, memerintah dengan tangan besi dan mengeluarkan berbagai aturan yang mengekang kebebasan berekspresi, serta dianggap berupaya menciptakan kesenjangan antara kaum Eropa dan non-Eropa. 

Dalam konteks itulah, menurut Ravando, Sinpo mengkritik pemerintah kolonial, antara lain mengkritisi sistem pengadilan mereka yang memberatkan bagi Tionghoa dan golongan ‘bumiputera’. “Sinpo menerbitkan editorial tentang perjuangan tokoh-tokoh bangsa Indonesia, antara lain Sukarno,” tutur Ravando.

Yang mengagumkan, menurut alumni jurusan sejarah Universitas Gajah Mada (UGM) itu, ketika banyak media menolak tawaran Wage Rudolf Supratman untuk menerbitkan lagu gubahannya, Indonesia, yang kini menjadi Lagu Kebangsaan RI, Sinpo justru berani menerbitkannya, meski resiko menerbitkan lagu tersebut saat itu sangat besar. 

Baca Juga: Usai Kunjungan ke Tiongkok, RI-Tiongkok Bahas Proyek Infrastruktur Strategis

Sementara itu, Daniel Winarta, anak muda Tionghoa yang bergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai asisten pengacara publik, berpandangan bahwa generasi muda menghadapi banyak tantangan dalam kiprah aktivisme mereka. 

“Pertama, kita menanggung beban sejarah yang telah ada sebelum kita lahir,” tutur lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu. “Selama kebenaran belum terungkap, kita akan tetap mengalami diskriminasi,” ungkapnya.

Namun, ia menjelaskan bahwa terdapat juga tantangan internal dalam komunitas Tionghoa sendiri, yaitu ketakutan dari kalangan generasi tua, yang berujung pada larangan kepada anak-anak mereka untuk ikut serta dalam aktivisme. 

Selain itu, resiko yang dihadapi oleh pemuda dan pemudi Tionghoa ketika mengekspresikan pandangannya cenderung lebih tinggi dibandingkan resiko yang dihadapi oleh kelompok masyarakat yang lain. “Bahkan untuk turut melakukan ‘klik’pun lebih beresiko,” kata Daniel. 

Dalam pandangan peneliti BRIN, Lidya Christin Sinaga, berbagai cerita yang disampaikan di atas, merupakan hal yang sangat penting untuk disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia, demi mempertahankan apa yang ia sebut sebagai memori kolektif bangsa. 

“Upaya merawat memori kolektif bangsa ini penting karena suatu peristiwa publik meninggalkan jejak yang mendalam pada mereka yang mengalaminya, terutama orang muda yang sedang dalam proses mengonstruksi indentitas,” tutur Lidya. 

Lidya mengatakan bahwa Tionghoa dalam memori kolektif dan historiografi, khususnya sepanjang era orde baru, cenderung diingat sekaligus dihapuskan. Itulah sebabnya Lidya menganggap upaya memelihara atau membangkitkan kembali memori kolektif, seperti dengan membangun Museum Benteng Heritage di Tangerang, Museum Kebudayaan Indonesia Tionghoa di Bandung, dan Perpustakaan Medayu Agung di Surabaya, sebagai upaya yang sangat penting. 

Lidya berpesan kepada saudara sebangsa yang berlatar belakang etnik Tionghoa tetap mempertahankan identitas dan budaya Tionghoa untuk menjadi Indonesia. “Tetaplah menjadi Indonesia dengan menjadi Tionghoa,” ungkapnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Belinda Safitri

Advertisement

Bagikan Artikel: