Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Biaya Bengkak dan Pendapatan Minim, Kereta Cepat Tekan Keuangan KAI

Biaya Bengkak dan Pendapatan Minim, Kereta Cepat Tekan Keuangan KAI Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau yang dikenal dengan Whoosh dan rendahnya pendapatan operasional membuat PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI menanggung tekanan keuangan yang besar. 

Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sekaligus Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Rizsa Idris, kondisi tersebut memperburuk posisi keuangan konsorsium dan berpotensi menambah beban negara.

Baca Juga: Harryadin Minta Menkeu Purbaya Hapus Pajak Gym agar Industri Kian Tumbuh

Handi menjelaskan, biaya pembangunan KCJB mengalami cost overrun dari US$6,07 miliar menjadi US$7,27 miliar atau setara Rp110,5 triliun pada 2022. Artinya, terjadi pembengkakan sekitar Rp21,4 triliun dibandingkan rencana awal. 

“Perubahan nilai kurs dan pembengkakan biaya menyebabkan overrun yang akhirnya ditanggung oleh KAI sebagai pimpinan konsorsium,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Pelajaran Ekonomi Politik dan Warisan Kebijakan Jokowi: Bagaimana Membayar Utang Kereta Cepat”, dikutip Minggu (26/10/2025).

Sebagai pemimpin proyek, KAI harus menanggung porsi terbesar dari tambahan biaya tersebut. Dari total cost overrun Rp21,4 triliun, sekitar Rp3,2 triliun ditanggung konsorsium BUMN Indonesia, sedangkan konsorsium China menanggung Rp2,1 triliun. 

Sisa pembiayaan diperoleh melalui pinjaman dari China Development Bank sebesar Rp16 triliun. Kondisi ini, kata Handi, menjadikan proyek KCJB sebagai beban keuangan baru bagi KAI.

Tekanan finansial semakin terasa karena pendapatan operasional kereta cepat belum mampu menutup kewajiban bunga utang. Handi mengungkapkan, berdasarkan perhitungan Indef, bunga yang harus dibayarkan mencapai sekitar Rp2 triliun per tahun. Sementara itu, pendapatan kotor KCJB pada 2024 hanya sekitar Rp1,5 triliun, dengan asumsi 6 juta penumpang dan tarif rata-rata Rp250.000 per perjalanan.

“Artinya, pendapatan kotor saja belum cukup untuk menutupi pembayaran bunga. Apalagi untuk membayar pokok utang dan biaya operasional,” tegas Handi.

Lebih lanjut, laporan keuangan konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), sebuah entitas yang menaungi proyek KCJB, menunjukkan kerugian mencapai Rp4,19 triliun sepanjang 2024. Jika dirata-rata, kerugian tersebut setara sekitar Rp11,4 miliar per hari. Handi menilai angka tersebut menunjukkan ketidakseimbangan serius antara biaya dan manfaat ekonomi proyek.

“Secara bisnis, kondisi ini sulit berkelanjutan. Dengan pendapatan jauh di bawah kewajiban bunga, kereta cepat menjadi beban yang harus ditanggung terus-menerus,” katanya.

Handi menilai perlu langkah korektif untuk mencegah akumulasi kerugian yang lebih besar, di antaranya melalui evaluasi model bisnis, optimalisasi tarif, dan perluasan rute agar kapasitas penumpang meningkat. Handi menegaskan, tanpa strategi perbaikan dan restrukturisasi keuangan, proyek ini akan terus menekan kinerja KAI dan berpotensi menggerus dana publik melalui penyertaan modal negara di masa depan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya

Advertisement

Bagikan Artikel: