Data Impor Jadi Alarm, Indonesia Locavore Society Hadirkan Revolusi Makan Lokal
Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Data Januari hingga Agustus 2025 menunjukkan sinyal bahaya dalam sektor pangan nasional. Impor beras menembus 3,05 juta ton atau melonjak 92 persen dibanding tahun sebelumnya, disusul impor gandum mencapai 8,43 juta ton. Tren ini menjadi cerminan rapuhnya swasembada pangan dan ketergantungan total terhadap bahan pangan impor.
Situasi tersebut mendorong lahirnya gerakan budaya pangan baru bertajuk Indonesia Locavore Society (ILS), yang diinisiasi oleh Syarif Bastaman, pengusaha sumber daya alam asal Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gerakan ini hadir sebagai bentuk perlawanan budaya terhadap pola konsumsi impor yang kian menggerus ketahanan pangan bangsa.
“Impor beras naik 92 persen, gandum mencapai 8,43 juta ton, dan kedelai serta gula juga terus meningkat. ILS kami dirikan untuk memulai kedaulatan dari meja makan agar Indonesia bisa menghemat devisa dan menumbuhkan ekonomi dari dapur sendiri,” ujar Syarif di Bandung, Sabtu (1/11/2025).
Menurut Syarif, impor kedelai yang menjadi bahan baku tahu dan tempe, makanan sehari-hari masyarakat diperkirakan melonjak hingga 2,05 juta ton, sementara gula mencapai 3,38 juta ton. Kondisi ini menjadi alarm keras bagi masa depan pangan nasional.
Menariknya, gagasan ILS lahir bukan dari lembaga besar, melainkan dari diskusi kecil antar tokoh lintas bidang di sebuah grup WhatsApp. Dari keresahan sederhana tentang data impor, mereka bersepakat bahwa solusi harus dimulai dari perubahan perilaku masyarakat.
“Kami ingin gerakan ini dimulai dari bawah, dari budaya. Menolak makanan impor bukan sekadar nasionalisme, tapi gaya hidup baru. Makan lokal adalah kekinian,” tegas Syarif.
Ia menambahkan, pemerintah selama ini terlalu “memanjakan konsumen” dengan impor murah tanpa memikirkan keberdayaan petani lokal. “Kalau pemerintah ibarat ayah yang boros, maka masyarakat harus jadi anak-anak yang berani berkata: Ayah, cukup. Kita bisa masak sendiri,” ujarnya
Gerakan ini tak berdiri sendiri. ILS dibentuk oleh sejumlah tokoh lintas profesi yang terpanggil menyelamatkan kedaulatan pangan bangsa.
Struktur organisasi ILS antara lain; Pembina: Syarif Bastaman, Erry Riana Hardjapamekas (tokoh antikorupsi), dan Ayi Vivanda (Wakil Wali Kota Bandung 2003–2008), Ketua Umum: Eep S. Maqdir, aktivis agrobisnis dan ahli multimedia, Sekretaris: Widiana Syafaat, Ketua HKTI Kabupaten Garut, Pengawas: Andri P. Kantaprawira (budayawan Sunda, Ketua MMS) dan Dedi M. Martapraja (jurnalis senior Kompas) dan Pengurus: Denny Chandra Iriana, komedian senior dan pendiri P-Project.
Ketua Umum ILS Eep S. Maqdir menjelaskan bahwa gerakan locavore bukan sekadar pola makan, tapi juga pernyataan budaya dan etika hidup.
Baca Juga: Kelas Menengah Indonesia Kini Utamakan Hidup Berkualitas, Bukan Sekadar Panjang Umur!
“Locavore mendorong manusia untuk mengonsumsi pangan yang tumbuh dan diproduksi di lingkungan terdekatnya. Ini bukan hanya soal gizi, tapi soal tanggung jawab terhadap bumi dan penghargaan kepada petani, peternak, dan pengrajin pangan,” jelas Eep.
Ia menilai, kesadaran ini sejalan dengan tren global di mana masyarakat dunia mulai kembali ke akar, mengenali asal-usul makanan mereka, serta mendukung ekosistem lokal.
Sebagai langkah awal, ILS akan meluncurkan berbagai program nyata, mulai dari pendirian warung nasi lokal bernama “Warung Wareg” yang menjual makanan sepenuhnya dari bahan lokal dengan harga terjangkau.
Selain itu, akan dibuat Indeks Locavore se-Indonesia, pendirian restoran fine dining di Bali, sertifikasi pelaku usaha kuliner, hingga zona pangan 120 km, yaitu konsep di mana makanan hanya berasal dari wilayah pertanian dalam radius 120 kilometer.
“Kami ingin menunjukkan bahwa kedaulatan pangan bisa dimulai dari sendok kita sendiri,” ujar Syarif.
Syarif kembali mencontohkan bahwa banyak program besar negara berawal dari inisiatif kecil masyarakat, termasuk Program Keluarga Berencana (KB) yang diadopsi pemerintah dari gerakan masyarakat pada 1957.
“Dulu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia memulai dari segelintir orang, lalu oleh Presiden Soeharto dijadikan program nasional. ILS juga kami harapkan bisa tumbuh seperti itu,”katanya
Baca Juga: Sinyal Pelonggaran, India Dapat Izin Impor Logam Tanah Jarang dari China
Sementara itu, Denny Chandra, yang dipercaya menangani bidang sosialisasi ILS, menegaskan pentingnya gerakan ini sebagai bentuk tanggung jawab lintas generasi.
“Para pendiri ILS adalah orang-orang yang mestinya sudah pensiun, tapi mereka justru memikirkan masa depan bangsa. Saya ikut karena ingin meneruskan semangat itu ke generasi di bawah saya,” kata Denny.
Ia menambahkan, membeli bahan pangan dari warung atau kios lokal harus menjadi gerakan moral bersama, meski terkadang harganya sedikit lebih mahal.
“Kalau kita tidak membeli dari mereka, perekonomian mereka akan mati. Tapi kalau kita kembali belanja di warung, kita ikut menyelamatkan ekonomi rakyat,” tegasnya.
Indonesia Locavore Society menjadi simbol kebangkitan kesadaran pangan nasional, ketika rakyat memutuskan untuk tidak hanya makan, tapi juga memaknai apa yang dimakan.
Di tengah ancaman impor pangan yang terus meningkat, ILS menyalakan harapan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal sederhana dengan memilih nasi, tahu, dan sayur dari tanah sendiri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement