Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Meski Ada Sinyal Pemulihan, Risiko Global Masih Bayangi Ekonomi Indonesia di Akhir 2025

Meski Ada Sinyal Pemulihan, Risiko Global Masih Bayangi Ekonomi Indonesia di Akhir 2025 Kredit Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketidakpastian global masih membayangi prospek ekonomi Indonesia di penghujung 2025. Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Dian Ayu Yustina, menilai gejolak geopolitik dan perlambatan ekonomi di negara-negara utama akan menekan ekspor, investasi, serta ruang kebijakan moneter domestik meskipun tanda-tanda pemulihan mulai terlihat.

“Konflik di Timur Tengah antara Iran dan Israel serta ketegangan dagang AS–China masih menjadi faktor utama yang menahan laju ekonomi global. Kedua faktor ini berdampak langsung terhadap harga komoditas dan arus perdagangan dunia,” ujar Dian Ayu di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (10/11/2025).

Menurutnya, dua risiko global tersebut memiliki dampak berbeda bagi Indonesia. Konflik di Timur Tengah mempengaruhi harga minyak dan energi, sementara kebijakan tarif AS terhadap China menimbulkan efek rambatan terhadap ekspor Indonesia yang banyak bergantung pada rantai pasok regional. 

“Bagi Indonesia, pergerakan harga komoditas sangat krusial karena turut menentukan kinerja ekspor dan penerimaan negara,” katanya.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Diprediksi Naik Tipis ke 5,1%, Ekspor Masih Tertekan

Dian menyebutkan, meskipun Dana Moneter Internasional (IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada Oktober 2025, tren perlambatan di Amerika Serikat dan China tetap menjadi perhatian utama. Kedua negara itu merupakan mitra dagang dan sumber investasi terbesar bagi Indonesia.

“IMF memang lebih optimistis dibandingkan perkiraan sebelumnya. Namun, pertumbuhan AS cenderung datar dan China justru melambat akibat masalah struktural seperti demografi dan sektor properti,” jelasnya.

Ia menambahkan, perlambatan dua ekonomi terbesar dunia tersebut berpotensi menekan harga ekspor utama Indonesia seperti batu bara, minyak sawit, dan nikel yang tahun ini mengalami penurunan masing-masing 30%, 20%, dan 15%.

Dari sisi kebijakan moneter global, Dian menilai langkah Federal Reserve (The Fed) yang mulai menurunkan suku bunga acuan pada September lalu menjadi sinyal transisi, namun laju penurunannya masih terbatas. 

“Kalau fase penurunan Fed Rate makin lambat, ruang Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate juga akan terbatas,” katanya.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,04% di Kuartal III, Purbaya ungkap Berkat Sinergi Fiskal

Ia menjelaskan, keputusan The Fed mengakhiri program quantitative tightening menandakan adanya kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi AS. 

Namun, tekanan terhadap dolar AS dan yield obligasi masih tinggi, yang membuat investor global cenderung berhati-hati terhadap aset di pasar berkembang termasuk Indonesia.

Meski demikian, Dian menilai ekonomi Indonesia masih relatif tangguh dengan dukungan konsumsi rumah tangga dan kebijakan fiskal yang ekspansif. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional dapat bertahan di kisaran 5% pada akhir 2025.

“Risiko eksternal memang tinggi, tapi indikator domestik menunjukkan daya tahan yang baik. Tantangannya adalah menjaga stabilitas rupiah dan menjaga momentum investasi agar tidak terganggu tekanan global,” ujarnya menutup.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: