Kredit Foto: Istimewa
Perjalanan panjang pelindungan konsumen dari asbes lembaran yang karsinogenik kembali menemukan titik cerah. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan perkara Nomor 400 /Pdt/2025/PT DKI tanggal 17 November 2025 sama sekali tidak mengubah ketidakberlakuan Permendag Nomor 25 Tahun 2021 yang telah diputus Mahkamah Agung (MA) pada Maret 2024.
Dalam putusannya, Hakim PT DKI Jakarta sama sekali tidak menyentuh pokok seteru antara FICMA (Fiber Cement Manufacturer Association) atau asosiasi industri asbes dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi.
Seteru FICMA dimulai ketika Permendag Nomor 25 tahun 2021 diputus oleh MA bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan dinyatakan tidak berlaku. Hal ini karena Permendag tersebut tidak mengharuskan label dan peringatan barang berbahaya dan beracun (B3) terhadap produk asbes bergelombang dan rata dapat merugikan masyarakat serta konsumen yang menggunakan barang asbes .
Atas dasar keputusan hakim MA itulah FICMA bereaksi untuk membatalkan putusan MA. FICMA mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap LPKSM Yasa Nata Budi karena tidak melibatkan kelompoknya di dalam judicial review yang diajukan LPKSM Yasa Nata Budi. Lembaga pelindungan konsumen pun digugat FICMA senilai total Rp.790 Milyar ganti rugi karena potensi kerugian Rp. 7,9 Triliuun yang diduga akan dirasakan oleh anggotanya.
Menanggapi putusan PT DKI, Leo Yoga Pranata, salah satu tergugat wakil dari LPKSM Yasa Nata Budi mengatakkan Putusan Hakim adalah penegasan pentingnya label dan peringatan B3 atas setiap produk asbes. Leo bahkan berterima kasih kepada FICMA karena mau membongkar praktek bisnis beresikonya. Menurutnya, putusan hakim PT DKI walaupun aneh namun terbukti sama sekali tidak mengubah putusan MA sebelumnya.
“Kami berterima kasih untuk FICMA karena keributan yang mereka buat, akhirnya seluruh Indonesia dan dunia tahu bahwa asbes yang mereka perdagangankan di Indonesia telah puluhan tahun menebar resiko karsinogenik. Kini mereka harus menempatkan label dan peringatan B3 karena sudah diputus MA dan ditegaskan PT DKI,” ucapnya.
Walaupun PT DKI telah memutus dengan tidak menyertakan apa yang telah diputuskan oleh MA, Ketua Tim Advokasi, Dadan J Priandana, mengatakan bahwa ada sejumlah kejanggalan yang telah dibuat oleh majelis hakim.
Dadan mengatakan hakim PT DKI telah melampaui kewenanganan yang diberikan Undang-undang kekuasaan kehakiman. Menurutnya, hakim PT DKI telah tidak cermat menilai teks dan konteks gugatan PMH yang diajukan FICMA.
“Yang mencolok itu hakim memutuskan krisotil dibutuhkan, tidak bahaya, dan dilindungi ratifikasi konvensi rotterdam. Keputusan ini menciptakan norma hukum baru yang bersifat deklaratoir mengenai sifat suatu zat kimia. Hakim PT tidak punya kewenangan itu,” ujarnya.
Koordinator INABAN, perkumpulan aktivis eleminasi penyakit akibat asbes, Darisman menegaskan keputusan PT DKI disatu sisi memberi kejelasan bahwa Permendag yang tidak mengikuti ketentuan label B3 dalam perdanganan Asbes harus di cabut. Namun di pihak lain PT DKI juga membuat ambiguitas baru di masyarakat.
“Mengatakan krisotil dibutuhkan, tidak bahaya, dan dilindungi UU itu justru memuncukan ketidakjelasan, ambiguitas. Wilayah hakim harusnya berkenaan dengan tindakan hukum bukan memutus tindakan ilmiah. Kebutuhan, ketidakbahayan, itu harus merupakan pertimbangn ilmiah,” jelasnya.
Senada dengan Darisman, Direktur Lion Indonesia mengatakan keputusan Hakim PT DKI yang memutus krisotil tidak bahaya bukan hanya menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal demikian menurutnya akan menjadi legalisasi tindakan hukum yang menempatkan konsumen Indonesia dalam resiko yang lebih mengerikan. Menurutnya, kedepan Industri akan semakin seenaknya menggunakan bahan beresiko bagi lingkungan dan manusia atas nama dibuthkan, tidak bahaya, dan dilindungi,
“Kalau ini dipakai dan jadi preseden kedepan, boleh jadi nanti akan banyak bahan kimia yang mematikan diputuskan legal karena dibutuhkan, tidak bahaya dan dilindungi undang-undang. Tanda label peringatan terhadap barang B3 ini sebenarnya sudah paling rasional dan moderat. Keserakahan yang membuatkan seolah tidak diperlukan,” ucapnya.
Koordinator advokasi labelisasi bahaya produk asbes, Dhiccy Sandewa yang juga menjadi sasaran gugatan FICMA menegaskan seteru yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini harus segera berakhir. Menurutnya karena gugatan FICMA ini kementerian perdagangan terus berdalih untuk tidak segera membuat peraturan pengganti yang menegaskan kewajiban label dan tanda peringatan.
“Perkara ini justru membuat negara, khususnya kementerian perdagangan bersalah karena tidak segera mengeluarkan aturan baru sesuai putusan MA. Perkara yang diajukan FICMA sudah menjebak kementerian bertindak mengabaikan hukum dan konstitusi. Ini bahaya sekali dan masyarakat dirugikan,” tegasnya.
Sampai saat ini, Permendag No.25 Tahun 2021 yang telah diputus MA bertentangan dengan Pasal (2) UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdangaan, dan Pasal 23 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan masih belum juga dikeluarkan oleh Kementerian Perdanganan.
Sudah 20 bulan Kementerian Perdagangan bertindak mengabaikan putusan Mahkamah Agung. Belum ada tindakan yang dilakukan FICMA untuk mematuhi hukum Indonesia dengan menempatkan label dan tanda peringatan atas produknya. Produksi anggota FICMA di dalam 20 bulan itu terus beredar menyasar masyarakat yang tidak terliterasi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sufri Yuliardi
Tag Terkait:
Advertisement