Evaluasi Peran Konsultan Asing Dinilai Perlu demi Akuntabilitas Proyek Coretax
Kredit Foto: Istimewa
Indonesian Audit Watch (IAW) menyoroti peran konsultan asing dalam proyek Coretax. Keterlibatan konsultan internasional sejak tahap awal perencanaan dalam sistem perpajakan digital nasional tersebut perlu diaudit secara menyeluruh karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan risiko sistemik bagi keuangan negara.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menegaskan kegaduhan publik selama ini keliru karena terlalu fokus pada server yang sempat tumbang, aplikasi lambat, atau antrean keluhan wajib pajak. Menurutnya, gangguan teknis hanyalah gejala, sementara sumber masalah sesungguhnya berada pada tahap pra-perencanaan Coretax.
Coretax, kata Iskandar, bukan proyek kecil. Sistem ini dirancang sebagai tulang punggung reformasi perpajakan Indonesia yang akan menopang penerimaan negara dari lebih dari 14 juta wajib pajak. Karena itu, setiap keputusan sejak fase desain, spesifikasi, hingga pemilihan model sistem seharusnya tunduk pada standar hukum dan kehati-hatian tertinggi.
Dalam perspektif hukum keuangan negara, Iskandar menekankan bahwa tidak ada ruang pra-perencanaan yang bebas dari tanggung jawab hukum. Sejak ide dan desain awal disusun, proyek sudah terikat pada asas efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
"Namun, proses perencanaan Coretax berlangsung tertutup. Dokumen kajian kebutuhan tidak pernah dibuka secara luas! Alternatif desain nasional nyaris tidak terdengar. Pilihan sistem Commercial Off-The-Shelf diterima seolah tak ada opsi lain," kata Iskandar, Senin (15/12/2025).
Iskandar secara khusus menyoroti masuknya peran konsultan asing dalam fase awal konseptualisasi Coretax. PricewaterhouseCoopers (PwC) dan Deloitte disebut terlibat sejak tahap desain. Persoalan utamanya, menurut Iskandar, bukan sekadar kehadiran konsultan, melainkan posisi dan kewenangan yang diberikan kepada mereka.
"PwC, misalnya, berperan sebagai agen pengadaan. Dalam posisi itu, ia ikut menyusun spesifikasi teknis sekaligus terlibat dalam evaluasi penawaran. Dalam tata kelola pengadaan yang sehat, ini adalah konflik kepentingan struktural," ungkapnya.
Iskandar menegaskan, perancang spesifikasi tidak boleh menjadi penilai atas hasil rancangannya sendiri. Kondisi ini bukan soal dugaan niat baik atau buruk, melainkan cacat desain tata kelola sejak awal. Ketika satu entitas menguasai proses dari hulu hingga hilir, prinsip persaingan sehat otomatis runtuh.
Padahal, regulasi pengadaan secara tegas mengamanatkan asas terbuka dan bersaing. Dalam praktik Coretax, penerapan asas tersebut dinilai patut dipertanyakan. Selain itu, Iskandar menilai spesifikasi teknis yang disusun terlampau tinggi. Persyaratan pengalaman lintas negara, portofolio bernilai ratusan juta dolar, dan kompleksitas teknis ekstrem secara kasat mata menyaring pelaku dalam negeri sejak awal.
"Ketika spesifikasi dibuat sedemikian rupa sehingga kompetisi menyempit, negara berisiko tidak mendapatkan harga terbaik, teknologi yang benar-benar sesuai kebutuhan, dan alih pengetahuan yang memadai," ujarnya.
Pilihan menggunakan sistem Commercial Off-The-Shelf (COTS) dinilai semakin memperbesar risiko ketergantungan. Iskandar mengakui bahwa sistem internasional lazim digunakan di banyak negara, namun selalu disertai satu syarat utama, yakni negara tetap menjadi pemilik pengetahuan dan pengendali sistem.
Tanpa klausul alih teknologi yang kuat, COTS justru berpotensi menjebak negara dalam ketergantungan jangka panjang. Negara hanya menjadi pengguna, sementara kendali efektif berada di tangan vendor.
"Padahal, regulasi nasional tentang sistem pemerintahan berbasis elektronik dan kebijakan industri menekankan penguasaan teknologi strategis oleh negara," ujarnya.
Pada titik ini, Iskandar menilai persoalan Coretax telah bergeser dari isu teknis menjadi isu kebijakan publik dan keuangan negara. Biaya ratusan miliar rupiah untuk jasa konsultan bukan angka kecil, terlebih ketika desain awal memicu perubahan berulang yang melahirkan biaya tambahan melalui change request.
Selain itu, sistem yang tidak optimal berpotensi menunda penerimaan pajak. Ketergantungan terhadap vendor, menurut Iskandar, akan membebani APBN dalam jangka panjang.
"Ketika ketergantungan vendor terjadi, beban APBN membengkak dalam jangka panjang. Inilah kerugian negara dalam bentuk paling modern: tidak selalu kas keluar hari ini, tetapi beban sistemik yang diwariskan bertahun-tahun," katanya.
Dalam kerangka hukum administrasi pemerintahan, Iskandar menilai keputusan desain yang tidak cermat, tidak transparan, dan tidak berbasis alternatif terbuka dapat dikategorikan sebagai maladministrasi. Undang-undang tidak menuntut adanya niat jahat untuk menyatakan suatu keputusan bermasalah.
"Cukup dibuktikan bahwa keputusan itu melanggar asas kehati-hatian dan kepastian hukum serta menimbulkan kerugian atau risiko serius bagi negara," katanya.
Iskandar menegaskan bahwa penanganan Coretax tidak boleh dilakukan secara tergesa. Audit investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas fase pra-perencanaan dan pengadaan dinilainya sebagai langkah paling rasional.
Komisi XI DPR RI disebut memiliki mandat konstitusional untuk memanggil pihak terkait dan membuka dokumen. Aparat penegak hukum, menurutnya, baru masuk setelah audit menemukan indikasi kerugian negara dan penyalahgunaan kewenangan.
"Terburu-buru mempidanakan tanpa fondasi audit justru melemahkan penegakan hukum itu sendiri," tegas Iskandar.
Lebih jauh, Iskandar menyebut Coretax sebagai cermin kedaulatan kebijakan fiskal nasional. Sistem ini memunculkan pertanyaan apakah negara masih memegang kendali penuh atas kebijakan pajaknya, atau justru perlahan menyerahkannya kepada logika pasar konsultan dan vendor global.
"Perbaikan teknis boleh saja terjadi. Server bisa diperkuat. Aplikasi bisa dipoles. Tetapi jika hulunya keliru, hilirnya akan terus berulang bermasalah," ujarnya.
Ia menambahkan, reformasi perpajakan tidak boleh berhenti pada etalase teknologi. Reformasi harus berdiri di atas perencanaan yang bersih, transparan, dan berpihak pada kepentingan negara.
"Jika tidak, Coretax hanya akan menjadi simbol mahal dari niat baik yang salah arah, dan bebannya, lagi-lagi, ditanggung wajib pajak dan keuangan negara!" pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement