Transformasi Perpajakan Digital Berlanjut, Coretax Didorong Siap Hadapi Uji Nasional
Kredit Foto: Istimewa
Sistem administrasi perpajakan Coretax pada dasarnya bukanlah proyek yang keliru. Sejumlah kalangan menilai platform ini memiliki fondasi yang baik dan potensi besar untuk memperkuat modernisasi perpajakan nasional.
Namun, tantangan utama Coretax saat ini terletak pada fase penyempurnaan, pengujian menyeluruh, serta kesiapan operasional sebelum digunakan secara penuh dalam skala nasional.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai bahwa berbagai perbaikan yang dilakukan pemerintah patut diapresiasi. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa kemajuan parsial tidak dapat serta-merta disamakan dengan kesiapan total, terlebih menjelang rencana serah terima penuh sistem kepada Direktorat Jenderal Pajak pada 15 Desember 2025.
“Perbaikan memang terjadi dan itu positif. Namun secara tata kelola proyek, perbaikan parsial berbeda dengan kesiapan menyeluruh. Apalagi ada proses handover di periode yang sangat krusial. Jika serah terima dilakukan hanya demi mengejar tenggat waktu, risikonya harus dikelola dengan sangat hati-hati,” ujar Iskandar, Sabtu (13/12/2025).
Menurut Iskandar, terdapat setidaknya tiga kerentanan struktural yang selama ini kurang mendapat sorotan publik. Kerentanan pertama adalah benturan antara produk COTS global dengan kedaulatan proses domestik. Dengan memilih sistem sebagai produk jadi internasional, negara justru harus menyesuaikan prosesnya dengan logika vendor. Proses kustomisasi, lanjutnya, tidak otomatis menjamin terjadinya alih pengetahuan, sementara ketergantungan pada vendor menjadi risiko bawaan sejak awal.
Dalam situasi tersebut, publik dinilai memiliki hak untuk menuntut audit kontrak secara menyeluruh guna memastikan kejelasan klausul alih teknologi, kepemilikan source code, serta hak perubahan sistem. Iskandar menilai banyak proyek teknologi informasi negara gagal karena sistem yang dibangun pada akhirnya tidak sepenuhnya dimiliki oleh negara itu sendiri.
Kerentanan kedua berkaitan dengan kesiapan non-teknis yang disebut masih rapuh, khususnya dalam aspek hubungan masyarakat, edukasi, dan tata kelola. Coretax membawa perubahan mendasar, mulai dari alur kerja, logika pelaporan, hingga penyederhanaan formulir SPT Orang Pribadi menjadi satu formulir induk dengan lampiran dinamis. Namun di tingkat masyarakat, penyederhanaan tersebut justru berubah menjadi kejutan teknis.
Situasi ini diperparah oleh minimnya edukasi publik saat sistem diluncurkan serta komunikasi Direktorat Jenderal Pajak yang dinilai nyaris tak terdengar. Akibatnya, keluhan meningkat, ketidakpahaman meluas, dan reputasi sistem terlanjur memburuk sebelum benar-benar mencapai kematangan operasional.
Iskandar juga menyoroti klaim bahwa perbaikan Coretax telah dirasakan. Menurutnya, pernyataan tersebut perlu dijelaskan secara operasional. Apakah yang dimaksud adalah berkurangnya kesalahan minor, stabilnya modul utama dalam uji internal, atau kesiapan sistem untuk melayani sekitar 14 juta pengguna secara bersamaan.
"Faktanya, yang disebut pemerintah malah lebih dekat pada poin (a) dan (b). Untuk membuktikan (c), harus ada metrik: mean time between failure; latensi rata-rata; throughput; backlog bug dan time-to-fix. Tanpa angka, ‘perbaikan dirasakan’ hanyalah pernyataan berbumbu optimisme," tegasnya.
Menjelang serah terima pada 15 Desember 2025, Iskandar menilai terdapat risiko besar yang harus diaudit secara menyeluruh. Audit tersebut mencakup kepemilikan source code dan hak cipta untuk memastikan tidak ada komponen berlisensi yang mengikat negara pada vendor, audit keamanan independen oleh Badan Siber dan Sandi Negara mengingat Indonesia baru keluar dari insiden Pusat Data Nasional serta ancaman LockBit, serta verifikasi alih pengetahuan oleh 24 ahli eksternal yang dilibatkan.
"Selain itu, negara juga harus memiliki rencana rollback dan skema kelangsungan layanan jika Coretax mengalami kegagalan saat musim pelaporan SPT. Siapa bertanggung jawab? Sistem apa yang dipakai? Berapa lama downtime bisa ditoleransi?" kata Iskandar.
Baca Juga: Menuju Sistem Pajak Modern, Evaluasi Awal Coretax Jadi Langkah Strategis Pemerintah
Pada sisi hulu proyek, Iskandar menyoroti keterlibatan konsultan asing seperti PricewaterhouseCoopers dan Accenture yang menyusun desain awal Coretax, mulai dari arsitektur sistem, analisis proses bisnis, integrasi data, hingga perbandingan dengan sistem perpajakan di Australia, Korea Selatan, dan Finlandia. Tahap awal ini disebut menelan biaya Rp200–300 miliar dan menjadi fase krusial dalam menentukan arah proyek.
"Fase ini wajib diselidiki oleh auditor negara dan aparat penegak hukum karena di sinilah potensi bias vendor biasanya muncul," tegasnya.
Sementara pada tahap implementasi, peran konsorsium LG CNS–Qualysoft dinilai sangat dominan. Konsorsium ini menangani penyusunan modul inti, integrasi sistem lama, migrasi data, hingga adaptasi fitur vendor terhadap regulasi lokal. Posisi sebagai integrator yang memahami titik lemah sistem, desain keamanan, dan arsitektur teknis menjadikan perannya sangat strategis.
Iskandar menilai lembaga negara seperti BPK dan DPR perlu mengajukan sejumlah pertanyaan kunci, mulai dari kesesuaian cakupan kontrak handover dengan standar internasional, bukti konkret transfer pengetahuan, peran konsultan asing dalam penyusunan term of reference yang berpotensi mengarah pada vendor tertentu, hingga latar belakang dan kapasitas 24 ahli eksternal yang dilibatkan.
"Pertanyaan-pertanyaan ini bukan tuduhan, ini prosedur standar proyek TI negara. Justru aneh bila tidak pernah ditanyakan selama bertahun-tahun!" ujar Iskandar.
Baca Juga: Coretax Jadi Momentum Pembelajaran Reformasi Perpajakan Nasional
Iskandar mengingatkan bahwa praktik global menunjukkan sistem perpajakan digital membutuhkan fase stabilisasi yang panjang. Australian Tax Office, misalnya, memerlukan sekitar 18 bulan sejak penggunaan masif untuk mencapai kondisi stabil sebelum masuk ke fase Operation & Maintenance yang menuntut keandalan infrastruktur dan sumber daya manusia berpengalaman.
Indonesian Audit Watch menegaskan agar sebelum serah terima dilakukan, pemerintah membuka dokumen proyek, mengaudit sistem secara menyeluruh, dan mempublikasikan metrik kinerja secara transparan. Selain itu, kesiapan aparatur pajak, fungsi humas, serta layanan pengaduan Halo Pajak dinilai harus benar-benar diantisipasi untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
"Ingat! Negara tidak boleh mengganti sistem lama dengan pajangan digital yang rapuh. Beban itu akan jatuh ke 14 juta wajib pajak dan reputasi keuangan negara," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement