WKU Kadin Perindustrian Saleh Husin Menilai PP Pengupahan Berpotensi Menekan Pertumbuhan Industri Manufaktur 2026
Kredit Foto: PT Alba Unggul Metal
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan mendapat sorotan dari dunia usaha. Saleh Husin, Wakil Ketua Umum (WKU) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian, menilai bahwa kebijakan ini berpotensi mempengaruhi laju pertumbuhan sektor industri pengolahan nonmigas, termasuk di tahun 2026, terutama melalui tiga jalur yaitu biaya produksi, iklim investasi, dan penyerapan tenaga kerja.
Sebagai kontributor utama Produk Domestik Bruto (PDB) industri dan ekspor manufaktur, sektor ini dinilai sangat sensitif terhadap perubahan regulasi pengupahan. Saleh Husin memaparkan analisis mendetail mengenai dampak yang mungkin timbul.
Menurut Saleh, peningkatan upah minimum yang diatur dalam PP baru, baik melalui perluasan rentang indeks penyesuaian maupun pengenalan upah minimum sektoral, cenderung menaikkan biaya tenaga kerja secara struktural.
“Dalam jangka pendek hingga menengah, kenaikan biaya ini berisiko menekan laju pertumbuhan output industri nonmigas, khususnya pada subsektor padat karya,” jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.
Dia mengungkapkan, situasi ini akan membuat perusahaan lebih berhati-hati dalam melakukan ekspansi dan perekrutan tenaga kerja baru. Strategi yang kemungkinan akan diambil pelaku usaha adalah fokus pada efisiensi, otomasi terbatas, atau rasionalisasi tenaga kerja. Hal ini pada gilirannya dapat membatasi kontribusi sektor industri terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari sisi investasi, Saleh Husin menyoroti bahwa ketidakpastian akibat perubahan kebijakan pengupahan yang relatif sering berpotensi menjadi penghambat realisasi investasi baru di sektor manufaktur.
Investor cenderung menunda atau bahkan mengalihkan portofolio mereka ke sektor atau wilayah dengan struktur biaya yang lebih stabil dan dapat diprediksi.
Akibatnya, laju Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau penanaman modal di sektor industri pengolahan diperkirakan dapat melambat. Kondisi ini, jika tidak diimbangi, berisiko menurunkan potensi pertumbuhan jangka menengah industri manufaktur.
Meski demikian, Saleh mengakui bahwa kebijakan ini memiliki sisi positif, yakni berpotensi mendorong pertumbuhan dari sisi permintaan domestik melalui peningkatan daya beli pekerja industri.
Namun, Saleh menegaskan bahwa efek penguatan daya beli ini cenderung bersifat bertahap dan tidak langsung dirasakan oleh pasar. Sementara itu, dampak kenaikan biaya produksi akan lebih cepat dan langsung membebani pelaku industri.
“Akibatnya, dalam jangka pendek, efek bersih terhadap pertumbuhan sektor industri pengolahan nonmigas berpotensi moderat hingga cenderung menahan laju pertumbuhan, terutama pada subsektor yang berorientasi ekspor dan menghadapi persaingan global ketat,” papar Saleh.
Secara keseluruhan, Saleh Husin menilai PP 49/2025 berpotensi menciptakan trade-off atau pertukaran antara tujuan perlindungan pendapatan pekerja dan percepatan pertumbuhan industri manufaktur.
Dia mengingatkan bahwa tanpa kebijakan pendukung yang kuat, pertumbuhan sektor industri nonmigas ke depan, termasuk di tahun 2026, berisiko bergerak lebih lambat dari potensi yang seharusnya dapat dicapai.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement