Sawit Watch Tolak Ekspansi Sawit di Papua, Dinilai Picu Bencana Ekologis
Kredit Foto: Istimewa
Sawit Watch menyatakan penolakan tegas terhadap rencana ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar di Papua yang diklaim untuk mendukung produksi bahan bakar minyak (BBM) energi alternatif. Rencana tersebut dinilai berisiko tinggi memicu bencana ekologis, konflik agraria, serta krisis pangan, seiring target ekstensifikasi lahan 600.000 hektare pada 2026 dan penerapan mandatori B50.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyebut kebijakan tersebut sebagai strategi jalan pintas yang mengabaikan daya dukung lingkungan dan tata ruang. Menurutnya, ekspansi sawit di Papua berpotensi mengulang krisis ekologis yang telah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.
“Rencana ini merupakan kebijakan yang sangat berbahaya, mengancam kelestarian hutan hujan tropis terakhir di Indonesia, dan mengabaikan pelajaran pahit dari krisis lingkungan yang saat ini sedang melanda Sumatera. Strategi ekspansi di Papua tidak memiliki dasar ekologis dan tata ruang yang kuat,” ujar Achmad Surambo dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (20/12/2025).
Baca Juga: Prabowo Dorong Papua untuk Tanam Kelapa Sawit untuk Swasembada Energi
Berdasarkan analisis Sawit Watch melalui riset Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH), total potensi lahan sawit yang dinilai sesuai dan optimal atau Nilai Batas Atas (cap) di Pulau Papua hanya mencapai 290.837,03 hektare. Sementara itu, luas perkebunan sawit eksisting di Papua pada 2022 telah mencapai 290.659,14 hektare, atau hampir menyentuh kapasitas maksimal ekosistem.
Sawit Watch juga mencatat sekitar 75.308,04 hektare perkebunan sawit eksisting berada di wilayah dengan Variabel Pembatas (VP), seperti hutan primer, kawasan konservasi, Key Biodiversity Area (KBA), serta habitat burung cenderawasih.
Surambo menambahkan, rencana ekspansi di Papua berpotensi memicu konflik agraria baru, terutama bagi masyarakat adat. Data Sawit Watch pada 2025 mencatat terdapat sedikitnya 1.126 konflik di sektor perkebunan sawit di Indonesia yang melibatkan 385 perusahaan dan 131 grup usaha.
“Rencana ekspansi di Papua dikhawatirkan akan memicu gelombang konflik agraria baru. Data kami mencatat setidaknya sudah ada 1.126 konflik di perkebunan sawit di Indonesia, melibatkan 385 perusahaan dan 131 grup. Masyarakat adat Papua, dengan hak ulayatnya, akan menjadi korban utama kriminalisasi dan kekerasan dalam skema ‘jalan pintas’ ekstensifikasi ini,” tambahnya.
Baca Juga: KLH/BPLH Pasang Plang Pengawasan dan Segel Area Dua Perusahaan Sawit Pasca-Banjir Sumatera
Ia juga menyinggung krisis lingkungan yang terjadi di Sumatera sebagai pelajaran penting. Menurutnya, pembukaan lahan sawit baru di Papua berisiko merusak ekosistem strategis yang memiliki nilai penting bagi Indonesia dan dunia.
“Hasil riset kami menunjukkan skenario ekspansi sawit tanpa moratorium diproyeksikan menghasilkan output PDB negatif hingga minus Rp30,4 triliun pada 2045, akibat meningkatnya biaya sosial, penanganan bencana, dan hilangnya jasa lingkungan,” ujarnya.
Sebaliknya, Sawit Watch menilai skema moratorium permanen yang disertai Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) berpotensi memberikan dampak ekonomi lebih positif. Skema tersebut diproyeksikan menghasilkan output PDB positif hingga Rp30,5 triliun serta menyerap sekitar 827 ribu tenaga kerja hingga 2045.
Atas dasar itu, Sawit Watch mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan rencana ekspansi sawit di Papua dan target pembukaan lahan 600.000 hektare. Organisasi tersebut juga meminta pemerintah menerbitkan kembali Peraturan Presiden tentang moratorium izin sawit baru secara permanen, disertai audit menyeluruh terhadap seluruh izin perkebunan, terutama di wilayah dengan Variabel Pembatas.
Baca Juga: Tuntutan Dunia Terhadap Industri Sawit Berkelanjutan Meningkat, Ini Respons BNI
Selain itu, Sawit Watch menekankan pentingnya perlindungan hak masyarakat adat melalui pengakuan dan penetapan wilayah adat, khususnya di Papua, serta penyelesaian konflik agraria sawit yang telah terjadi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Advertisement