Sikap Presiden Prabowo Ingin Tunjukkan Negara Kuat dengan Wibawa dan Otoritas Institusinya
Kredit Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Prabowo Subianto memerintahkan jajarannya untuk menyusun Peraturan Pemerintah (PP) sebagai solusi atas polemik Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025.
Menanggapi hal itu, Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, R Haidar Alwi mengatakan itu artinya penegasan negara untuk memperkuat legitimasi kebijakan Polri sekaligus menjaga kewibawaan institusi kepolisian.
Ia menambahkan secara ketatanegaraan, Presiden sejatinya memiliki kewenangan untuk membatalkan atau menegasikan Perpol melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Namun, Presiden Prabowo tidak memilih opsi tersebut. Pilihan ini bukan kebetulan, melainkan cerminan sikap sadar konstitusi dan kehati-hatian dalam mengelola hubungan antar lembaga negara.
"Dengan tidak diterbitkannya Perpres Pembatalan, Presiden mengirimkan sinyal tegas bahwa Perpol 10/2025 tidak dianggap sebagai produk yang tidak konstitusional" ujar Haidar Alwi.
Sebaliknya, substansi kebijakan Polri dianggap sah, relevan, dan tetap berada dalam koridor kewenangan institusional. Yang dilakukan Presiden justru menaikkan tingkat legitimasi pengaturan melalui PP, sebuah instrumen hukum yang secara hierarkis lebih kuat dan memiliki daya ikat lintas sektor.
Langkah ini penting untuk menjaga wibawa Polri sebagai institusi negara. Dalam negara hukum, pembatalan kebijakan internal lembaga penegak hukum melalui tekanan opini publik akan menciptakan keadaan berbahaya.
"Pembatalan atau pencabutan dapat menurunkan otoritas institusional Polri dan membuka ruang delegitimasi berulang terhadap kebijakan-kebijakan strategis lainnya. Presiden tampak memahami bahwa menjaga kehormatan institusi kepolisian adalah bagian dari menjaga stabilitas negara," tutur Haidar Alwi.
Menurutnya, PP yang dibentuk merupakan penguatan kebijakan negara atas Polri. Dengan PP, arah kebijakan yang diatur dalam Perpol 10/2025 memperoleh legitimasi yang lebih luas, tidak lagi semata-mata sebagai aturan internal kepolisian, tetapi sebagai kebijakan pemerintahan yang berdiri di atas persetujuan dan tanggung jawab Presiden sebagai kepala pemerintahan.
"Ini sekaligus menutup ruang tafsir delegitimasi yang selama ini dimanfaatkan untuk membangun polemik," ungkap Haidar Alwi.
Haidar menilai dorongan Pembatalan Perpol melalui Perpres tidak mendapat tempat dalam kebijakan Presiden. Kritik yang dibangun dengan narasi tidak konstitusional atau pembangkangan terhadap konstitusi justru berakhir pada konsolidasi kebijakan Polri di tingkat regulasi yang lebih tinggi.
Lebih jauh lagi, sikap Presiden Prabowo menunjukkan bahwa memperbaiki institusi negara tidak selalu harus dilakukan dengan membatalkan kebijakan yang sudah ada. Reformasi yang sehat dilaksanakan melalui penguatan tata kelola, kepastian hukum, dan konsistensi kewenangan.
"Dengan memilih PP alih-alih Perpres Pembatalan, Presiden menjaga keseimbangan antara reformasi, stabilitas, dan kewibawaan alat negara," tegas Haidar Alwi.
Jadi, penyusunan PP untuk memperkuat legitimasi Perpol Nomor 10 Tahun 2025 menegaskan posisi negara yang berdiri di belakang Polri. Presiden menunjukkan bahwa kewenangan memang dapat digunakan untuk membatalkan, namun kepemimpinan negara yang matang justru terlihat dari keberanian untuk melindungi institusi, memperkuat dasar hukumnya, dan memastikan kebijakan berjalan dalam kerangka hukum yang kokoh.
"Ini bukan sekadar pilihan regulasi, melainkan pernyataan politik hukum tentang bagaimana negara menjaga wibawa dan otoritas institusinya," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement