Sektor Pariwisata Kini juga Mendapat Insentif PPh Pasal 21
Oleh: M. Sofi Raga Sukmana, Penyuluh Pajak Kanwil DJP Jakarta Khusus
Kredit Foto: Istimewa
Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmennya dalam menjaga keberlangsungan daya beli masyarakat dan menjalankan fungsi stabilisasi ekonomi dan sosial. Di tahun 2025 ini, pemerintah telah menetapkan berbagai paket stimulus ekonomi, salah satunya adalah pajak penghasilan pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) untuk pegawai tertentu yang bekerja pada bidang usaha tertentu.
Langkah ini dipandang strategis untuk menjaga tingkat konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pilar utama pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Dengan skema DTP, beban pajak yang seharusnya dipotong dari gaji pegawai akan ditanggung pemerintah dan dibayarkan secara tunai oleh perusahaan, sehingga nilai gaji bersih yang diterima pegawai menjadi lebih besar.
Setelah sebelumnya sektor industri padat karya seperti industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit mendapatkan insentif PPh 21 melalui PMK 10 Tahun 2025, kini giliran sektor pariwisata juga mendapatkan insentif yang serupa melalui PMK 72 Tahun 2025. Insentif ini berlaku sejak masa pajak Januari 2025 sampai dengan Desember 2025 untuk industri padat karya dan berlaku 3 bulan bagi sektor pariwisata, yaitu masa pajak Oktober 2025 hingga Desember 2025.
Tidak ada proses pengajuan atau permohonan formal yang harus disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk dapat memanfaatkan insentif ini. Fasilitas ini dapat dimanfaatkan secara langsung (otomatis) oleh pemberi kerja (perusahaan) yang memenuhi kriteria tertentu dan pegawai yang memenuhi persyaratan tertentu.
Baca Juga: Dongkrak Pariwisata, Presiden Prabowo Siap Perbaiki Kota di Seluruh Indonesia Usai Tahun Baru
Pemberi Kerja dengan kriteria tertentu yang dimaksud adalah pemberi kerja pada bidang usaha industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furniture, kulit dan barang dari kulit, serta pariwisata yang memiliki kode klasifikasi lapangan usaha (KLU) sesuai dengan lampiran A PMK 72 Tahun 2025 dan KLU tersebut tercantum dalam basis data Direktorat Jenderal Pajak. Total terdapat 77 KLU pemberi kerja yang mendapatkan insentif pajak penghasilan pasal 21 ditanggung pemerintah.
Dari sisi pegawai, yang dapat diberikan insentif PPh Pasal 21 DTP adalah pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang memenuhi 3 kriteria yang menjadi syarat kumulatif, yaitu:
-
Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sudah terintegrasi dengan sistem DJP.
-
Kriteria penghasilan atau upah:
- Menerima atau memperoleh penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur tidak lebih dari Rp10.000.000 pada Masa Pajak Januari 2025, atau pada Masa Pajak bulan pertama bekerja untuk pegawai tertentu yang baru bekerja pada tahun 2025 untuk pegawai tetap.
- Menerima upah dengan jumlah tertentu; jika upah dibayar harian, mingguan, satuan, atau borongan, maka upah rata-rata per hari tidak boleh lebih dari Rp500.000, dan jika upah dibayar bulanan, maka upah maksimal adalah Rp10.000.000 untuk pegawai tidak tetap.
3. Tidak menerima insentif PPh Pasal 21 DTP lainnya.
Beberapa langkah utama yang wajib dilakukan oleh pemberi kerja untuk memanfaatkan insentif ini adalah sebagai berikut:
-
Insentif PPh Pasal 21 DTP wajib dibayarkan secara tunai kepada Pegawai yang berhak pada saat pembayaran penghasilan;
-
Pemberi kerja wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dengan memilih fasilitas "PPh Ditanggung Pemerintah (DTP)" di sistem Coretax;
-
Pemberi kerja wajib melaporkan pemanfaatan insentif ini melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPh Pasal 21/26 untuk setiap masa pajak dimanfaatkannya insentif, yaitu masa pajak Januari–Desember 2025 untuk industri padat karya (PMK 10 Tahun 2025) atau masa pajak Oktober–Desember 2025 untuk industri pariwisata (PMK 72 Tahun 2025).
Pelaporan dan/atau pembetulan SPT harus disampaikan paling lambat 31 Januari 2026. Kegagalan menyampaikan laporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 untuk satu masa pajak saja dapat mengakibatkan seluruh insentif dibatalkan dan PPh Pasal 21 yang seharusnya ditanggung pemerintah wajib disetorkan kembali.
Insentif PPh Pasal 21 DTP ini adalah instrumen kebijakan fiskal yang adaptif. Dengan mengalokasikan APBN untuk menanggung PPh Pasal 21, pemerintah secara tidak langsung menyuntikkan likuiditas ke masyarakat. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kepatuhan perusahaan dalam menyalurkan insentif tersebut kepada karyawan dan ketepatan waktu dalam pelaporan realisasinya.
Di masa mendatang, diharapkan sinkronisasi antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter seperti ini dapat terus terjaga untuk memastikan ekonomi Indonesia tetap tangguh menghadapi tantangan global dan menuju Indonesia sejahtera.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement