WE Online, Jakarta - Pemerhati perumahan meminta pemerintah memperkuat peran dan fungsi Perum Perumnas dalam hal penyediaan hunian layak khususnya bagi masyarakat tidak mampu, diantaranya dengan memperkuat fungsinya sebagai housing development board (HBD).
"Bank Dunia melihat Perumnas lembaga yang paling diakui banyak mengelola rumah publik dan misinya di daerah-daerah masih jalan, meski dari tahun 1970-an sampai sekarang peranannya kian menurun," kata Direktur Eksekutif Housing Resources Center (HRC) Mahditia Paramita di Jakarta, Senin (29/9/2015).
Mahditia yang juga bekerja sebagai specialist di Bank Dunia berpendapat penguatan fungsi Perumnas diyakini dapat mewujudkan program sejuta rumah yang menjadi andalan pemerintah saat ini guna mengatasi backlog perumahan.
Menurut Mahditia, saat ini Bank Dunia bersama pemerintah tengah mengkaji sampai umur berapa orang Indonesia mampu mencicil sewa rumah dan membeli rumah pada usia berapa. Informasi ini penting agar dapat dibuat skema kepemilikan hunian yang affordable bagi rakyat.
"Dalam hal ini, Bank Dunia merekomendasikan skema sewa ke milik agar dapat dipertimbangkan. "Nanti jika saya ingin pindah ke kota lain, saya bisa jual lagi ke Perumnas. Di kota yang baru, saya bisa beli rumah lewat Perumnas juga," kata dia.
Mahditia juga melihat, revitalisasi rusun perlu segera dilakukan. Bangunan rusun yang sudah tua bisa dipugar untuk kemudian dibangun dengan jumlah lantai yang lebih besar dan fasilitas layanan yang lebih bagus.
Pemerintah, lanjut dia, juga bisa mengumpulkan beberapa BUMN yang memiliki lahan idle luas agar lahannya dikelola oleh Perumnas untuk dibangun hunian rakyat, dengan perjanjian pengelolaan sekian tahun dan jika habis masa pengelolaannya diserahkan ke BUMN bersangkutan.
Dari sisi Perumnas, Mahditia menilai Perumnas juga bisa menyediakan terobosan layanan seperti home care unit. Jika saya membutuhkan perbaikan dapur, saya bisa panggil Perumnas untuk perbaikan tersebut.
"Karena kan sekarang sulit yah cari tukang bangunan," ujar Mahditia.
Ke depan, Perumnas juga perlu membuat call center 24 jam tentang fasilitas rusunawa di seluruh Indonesia. Hal ini tentu saja membutuhkan dukungan pemerintah untuk investasi teknologi informasinya.
Pemerintah juga perlu mendorong agar pemda-pemda bisa bekerja sama dengan Perumnas untuk mengembangkan kawasan hunian dan permukiman, melalui kerja sama dengan BUMD-BUMD.
Mahditia juga menilai Perumnas bisa saja mengakses pendanaan jangka panjang dari Bank Dunia untuk pengembangan permukiman dan land bank. Namun, hal tersebut masih perlu melihat dulu pandangan Bank Dunia selaku pendonor dan regulasi pinjaman oleh BUMN.
Menurut Mahditia, pembentukan housing development board (HDB) di Indonesia saat ini sudah dalam arah yang tepat dan tinggal melakukan berbagai aspek penguatan. Kelak, fungsi Perumnas sebagai HDB bukan lagi hanya membangun rumah tapi sudah mengarah kepada pengembangan kawasan permukiman.
Mahditia mengatakan, dalam rangka mewujudkan pengembangan kawasan permukiman yang layak dan terjangkau bagi masyarakat membutuhkan campur tangan pemerintah termasuk memberikan mandat untuk melakukan eksekusi pengadaan lahan.
Pasalnya, ujar dia, biaya terbesar untuk membangun rumah terletak pada harga tanah. Untuk itu dibutuhkan intervensi dari pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk menyediakan cadangan tanah (land bank) di sejumlah daerah.
Adapun keberhasilan dari program sejuta rumah sangat bergantung kepada upaya pemerintah dalam mengendalikan harga rumah sehingga tetap terjangkau bagi masyarakat yang disasar. Untuk itu, selain lahan juga perlu ada kebijakan untuk pengadaan bahan bangunan.
Bank Dunia juga telah memberikan sejumlah model penguatan NHA kepada pemerintah yang telah dikembangkan di berbagai negara yang berhasil dalam mendukung program pembangunan rumah termasuk mendefinisikan fungsi dan peranan HDB nantinya.
Mahditia mengatakan, Bank Dunia juga telah memberikan masukan mengenai mekanisme pemberian subsidi. "Perlu diberikan pengertian kepada masyarakat untuk mendapatkan kredit murah perumahan juga perlu untuk menyisihkan penghasilan untuk membeli rumah," ujar Mahditia.
Tabungan ini penting bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal karena dari masyarakat berpenghasilan menengah bawah hanya 40 persen saja yang bekerja di sektor formal, sedangkan 60 persen sisanya bekerja di sektor informal.
"Mereka yang bekerja di sektor informal ini juga menjadi sasaran HDB apabila program sejuta rumah ini ingin berhasil," ujar dia.
Pengamat properti juga berpendapat sama agar pemerintah perlu membuat badan otonom atau mandiri yang mengelola tabungan perumahan rakyat (Tapera) agar mekanisme penyalurannya dapat berjalan kondusif.
Direktur Ekskutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menjelaskan, konsep Tapera sangat bagus untuk meningkatkan daya beli masyarakat, karena sifat peruntukannya yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
Selama ini, dalam menggairahkan pasar di segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pemerintah hanya mengandalkan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) yang jumlahnya sangat terbatas, karena bergantung dari APBN. Sedangkan skema pembiayaan lainnya, yakni subsidi selisih bunga (SSB) merupakan dana yang langsung habis terpakai, ujar dia. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Achmad Fauzi
Tag Terkait:
Advertisement