Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Herman Setya Budi: Perjalanan Menuju Puncak

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Ia lahir di tengah keluarga tak mampu. Saking sulitnya, ia terpaksa makan nasi jatah dengan lauk tahu goreng saja. Akan tetapi, ia bukan tipe orang yang mudah menyerah.

Kepala Herman Setya Budi, Presiden Direktur PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG), terangkat saat ia coba mengingat kehidupan masa mudanya. Ada hening sejenak sebelum mulutnya berucap. Ia mengatakan hal yang paling diingat tentang masa lalunya adalah keseharian penuh kerja keras.

"Saya terlahir sebagai anak orang susah. Jadi, masuk sekolah pun sudah bekerja," katanya kepada rombongan wartawan Warta Ekonomi yang singgah di kantor Tower Bersama, beberapa waktu lalu.

Herman mengisahkan dirinya berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah. Di Solo ia tinggal di rumah orang tuanya bersama empat saudaranya yang lain. Ayahnya adalah seorang pengusaha. Sayangnya, sang ayah tidak bisa dibilang sebagai pengusaha sukses karena usaha yang dirintisnya sering kali kandas di tengah jalan.

"Dulu usaha ayah saya macam-macam, mulai dari usaha furnitur terus juga bikin alat-alat musik. Suatu hari usahanya kena banjir, habis. Ganti lagi usaha angkutan, tetapi tidak bisa kelola, tabrakan," kenangnya.

Ia mengaku badai seakan tidak pernah berlalu dari kehidupan keluarganya. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), ia harus menerima kenyataan pahit karena ibunya meninggal dunia. Kepergian sang ibu memukul keluarganya, terutama sang ayah. "Kepergian ibu membuat ayah saya semakin drop. Sudah seolah-olah tidak ada semangat hidup," ujarnya.

Hilangnya semangat hidup sang ayah membuat kondisi ekonomi keluarganya makin sulit. Apalagi, banyak modal usaha ayahnya yang disalurkan dari pihak keluarga sang ibu. Saking sulitnya, ayahnya sampai harus menjatah porsi makan harian agar kelima anaknya bisa mendapat bagian.

"Pada saat itu makan nasi saja dijatah. Jadi, saat itu kami sekeluarga makan nasi jatah dan lauk hanya bisa beli tahu goreng saja dan makan dikasih kecap saja," ceritanya.

Kondisi ekonomi keluarganya yang sulit justru membuat Herman muda terpacu untuk giat belajar. Ia mendapat nilai baik dan menjadi juara kelas saat SMA, terutama di bidang sains seperti matematika, fisika, dan kimia. Kemudian angin perubahan berembus ketika salah satu tantenya melihat potensi yang dimiliki Herman di bidang ilmu pasti. Ia didorong untuk terus melanjutkan pendidikan hingga tingkat sarjana. Akhirnya, ia berlabuh di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dan mengambil jurusan teknik sipil.

"Nah, waktu masuk kuliah di Parahyangan itu saya bisa kuliah karena formulirnya dibelikan oleh tante saya. Terus seleksi datang ke Bandung, masuk," tuturnya.

Dari Bandung ke Jakarta

Selama kuliah, pria yang bercita-cita menjadi seorang pengusaha sukses ini banyak mendapat kemudahan. Selain mendapat bantuan dari sang tante, pihak kampus juga memberikan beasiswa kepadanya. Akan tetapi, karena bukan tipe orang yang senang berpangku tangan dan bergantung pada orang lain, ia tetap memutar akal agar bisa mendapat penghasilan sendiri guna membiayai kuliah dan juga ongkos hidupnya selama tinggal di Bandung.

"Waktu itu saya sempat berpikir untuk kerja menjadi tukang koran. Ternyata, pada saat di Bandung, banyak anak-anak SMA yang minta les. Nah, saya banyak memberi les ke mereka. Informasi dari mulut ke mulut saja. Murid saya saat itu banyak, ada 60 pada saat itu," jelasnya.

Kerja keras selama masa sekolah ternyata berbuah hasil ketika kuliah. Pada tiga bulan awal memberi les, ia berhasil menyisihkan pendapatan lebih buat membeli sepeda motor. Bahkan, ia bisa membeli sebuah mobil dari hasil mengajar.

"Waktu itu tiga bulan pertama saya bisa beli sepeda motor dan saya bisa beli mobil. Waktu pertama, motor bebek bekas yang bulat itu. Honda bebek tahun 1979 itu saya beli bekas. Mobil pertama saya pikap. Daihatsu pikap warna putih," ungkapnya.

Pada tahun 1987 ia mulai memasuki masa-masa bimbingan skripsi. Pada semester itu mata kuliah yang diambil tidak terlalu banyak dan ditambah lagi sudah banyak murid lesnya yang lulus SMA. Alhasil, ia memiliki banyak waktu luang yang membuatnya berkeinginan untuk melamar pekerjaan.

"Jadi, pada saat 1987 mau lulus itu sudah mulai skripsi, kan banyak menganggur, jadi saya daftar bekerja sebagai salesman di Honda mobil di Bandung. Mulai berkarir sebagai salesman sambil menyelesaikan skripsi. Pada tahun 1988 wisuda," ucapnya.

Di Honda mobil karirnya melesat dengan cepat. Delapan bulan bekerja, ia sudah dipromosikan menjadi supervisor. Karena kinerjanya luar biasa bagus, tidak lama kemudian ia diangkat menjadi sales manager.

Kecemerlangan kinerjanya membuat banyak perusahaan lain berkeinginan untuk merekrutnya.  Pada tahun 1994 ia ditarik masuk ke perusahaan asuransi jiwa milik Astra di Bandung. Kemudian, pada tahun 1998, ia memulai babak baru dalam hidupnya dengan hijrah ke Jakarta setelah Astra memintanya menjadi regional agency director untuk Jabodetabek.

Krisis 1998

Badai krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia pada tahun 1998 turut menghantam kehidupan Herman, terutama dalam urusan karir. Saat itu ia sudah tinggal di Jakarta dan berlabuh di perusahaan baru di sektor multifinance. Keputusannya untuk pindah dari perusahaan asuransi jiwa ke perusahaan multifinance ternyata tidak bisa dikatakan sebagai pilihan jitu.

Herman mengaku dirinya tergoda ketika ditawari bergabung ke perusahaan multifinance tersebut. Apalagi ia dijanjikan jabatan dan penghasilan yang lebih tinggi. Ia juga berpikir bahwa krisis ekonomi yang menghantam Thailand tidak akan menyeret Indonesia.

"Ternyata Indonesia juga dihantam krisis. Bayangkan, dolar AS dari 2.000 (rupiah) menjadi 14.000 (rupiah), naik hampir tujuh kali lipat, dan kartu kredit macet semua. Alhasil, saya mesti temui belasan bank satu per satu di mana latar belakang saya bukan orang keuangan. Presiden direktur kami pulang ke negara asalnya. Saya dimaki-maki, ditunjuk-tunjuk, oleh pihak bank," tuturnya.

Pria yang kini telah memiliki tiga anak ini sempat sedih dan mengaku bersalah terkait keputusannya meninggalkan Astra. Apalagi, ia melihat teman-teman seangkatannya di Astra banyak yang diangkat posisinya menjadi direktur, sedangkan ia harus bergulat dengan banyak masalah di perusahaan barunya yang hampir "karam".

Akan tetapi, pengalaman hidup telah menempanya menjadi orang yang tidak mudah menyerah. Ketika banyak teman di kantornya keluar untuk menyelamatkan diri, ia justru pasang badan guna menyelesaikan masalah-masalah yang datang. Memang tidak mudah, dibutuhkan waktu empat tahun untuk berbenah hingga akhirnya, pada tahun 2002, kondisi perusahaannya kembali stabil.

Ia masih sempat bekerja empat tahun lagi di perusahaan itu hingga akhirnya, pada tahun 2008, ia pindah ke Tower Bersama.

Memberi Manfaat

Ketika masuk ke Tower Bersama pada tahun 2008, Herman diberi amanah oleh pemegang saham untuk membenahi sistem di perusahaan tersebut agar menerapkan good governance. Apalagi, perusahaan ini kerap melakukan aksi akuisisi dan merger terhadap perusahaan lain yang sudah memiliki culture sendiri.

Di Tower Bersama ia berusaha menjadi pemimpin yang memiliki strong vision, baik bagi pribadi maupun bagi perusahaan. Kemudian ia berusaha membuat "aturan main" yang jelas agar setiap orang di bawah payung TBIG tahu perannya masing-masing. Selain itu, ia juga membiasakan agar setiap orang mampu bekerja sama secara tim dengan baik.

Saat pertama kali Herman bergabung di Tower Bersama, tercatat jumlah site telekomunikasinya hanya 1.006 buah. Tujuh tahun berselang, tepatnya pada 30 Juni 2015, jumlah site telekomunikasi Tower Bersama meningkat lebih dari 12 kali lipat, menjadi 12.159 site. Meski demikian, ia tidak mau dikatakan sudah berhasil membawa Tower Bersama ke puncak kesuksesan.

"Bagi saya, sukses itu bisa berkontribusi dan bisa membuat orang lain tumbuh dan sukses juga. Bisa juga memberikan kesempatan orang yang tidak mampu bisa sekolah, karena saya pernah mengalami hal sulit seperti itu juga, dan tentu saja company ini bisa bermanfaat. Bagaimana saya berkontribusi buat country baik dari sisi bisnis maupun dari sisi kemanusiaan," tegasnya.

Atas dasar keinginan kuat untuk melihat orang lain sukses, ia tidak pernah lelah untuk terus berbagi dan memberi manfaat kepada lingkungan sekitar. Ia menegaskan dirinya akan kembali mengajar suatu hari kelak. "Kalau pensiun, saya mau mengajar," pungkasnya.

Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 21

 

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: