Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

MK Dituding Lupakan Etika

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Menteri Negara Otonomi Daerah Indonesia periode tahun 1999-2000 Ryaas Rasyid mengatakan Mahkamah Konstitusi melupakan faktor etika dalam mengeluarkan keputusan-keputusan terkait pilkada.

Menurut Rasyid, keputusan-keputusan MK hanya melihat dari sisi hukum. Padahal, menurut teori ada tiga pilar pendukung bangunan kekuasaan, yaitu konstitusi, hukum dan etika.

"Harusnya ketiga hal itu diletakkan seimbang, namun sayangnya tidak menjadi pertimbangan MK. Karena itu tidak salah kalau ada pihak menilai MK gagal meletakkan faktor etika dalam pertimbangannya mengeluarkan keputusan tersebut," ujar Rasyid dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (27/8/2015).

Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tahun 2000-2001 ini merujuk pada dua keputusan MK yang dianggap ganjil.

Pertama MK membatalkan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang tidak diperbolehkannya seseorang masuk dalam pemerintahan jika pernah dijatuhi hukuman pidana berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

"Masyarakat yang sensitif terhadap nilai-nilai etika boleh jadi akan enggan atau tidak akan memilih mereka," kata Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pemerintahan & Reformasi Birokrasi periode 2010-2014.

Namun hal itulah yang menjadi permasalahan sebab mempertinggi potensi terjadinya politik uang untuk mengarahkan rakyat ke calon-calon yang tidak layak secara kualitas kepemimpinan dan kelayakan moral. Kedua, MK juga membatalkan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang berkenaan dengan politik dinasti.

Berkenaan dengan ini, Rasyid mengatakan, MK tidak mempertimbangkan bahwa petahana bisa atau sering memanfaatkan pengaruh dan menyalahgunakan sisa waktu kekuasaannya untuk membantu kemenangan keluarganya.

"Sekarang mari kita cermati, apakah dua keputusan MK ini nantinya akan membawa dampak positif atau negatif terhadap penyelenggaraan otonomi daerah ke depan," tutur Rasyid.

Adapun MK membatalkan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sesuai dengan putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009.

MK beralasan rumusan pasal tersebut masih sangat bersifat umum dan penerapannya menimbulkan ketidakadilan serta merugikan hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3) UUD 1945.

Selain itu, MK juga mengabulkan sebagian permohonan uji materi dari UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan Adnan Purichta Ichsan, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.

Pemohon mengajukan uji materi dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r yang berbunyi, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana".

Mahkamah Konstitusi mengatakan Pasal 7 huruf r dan penjelasannya memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, dan menimbulkan multitafsir karena menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda dihadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: