Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Konspirasi Asing Semakin Masif Dikte Kebijakan Lingkungan Indonesia

Konspirasi Asing Semakin Masif Dikte Kebijakan Lingkungan Indonesia Kredit Foto: Muhamad Ihsan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Keputusan Komite Informasi Pusat (KIP) yang memenangi Greenpeace dalam sengketa informasi dan menyatakan ?File-SHP dari Peta Geospatial dan Kehutanan Indonesia sebagai materi informasi publik yang bersifat terbuka harus dimaknai sebagai ancaman yang serius bagi kehidupan bangsa dan negara.?

?Kemenangan itu tidak sekedar kekalahan negara menjaga kerahasiaan negara serta kecerobohan KIP mengambil keputusan, namun bukti semakin kuat dan masifnya gerakan konspirasi asing dalam mendikte negara melalui isu lingkungan,? kata pengamat Kehutanan dan Lingkungan Ricky Avenzora, di Jakarta, Senin (21/11/2016).?

Ricky berpendapat, keputusan KIP bisa dipetakan sebagai "sesat fikir" ?dalam memaknai UU No. 18 / 2008. Seharusnya KIP teliti dalam memaknai Pasal 2 khususnya Ayat 2 dan Ayat 4 dari UU No. 18/2008 tersebut. Data geospasial digolongkan sebagai Informasi Publik yang bersifat rahasia dan harus ditutup untuk melindungi kepentingan yang lebih besar .

Menurut Ricky, rakyat perlu mempertanyakan integritas pimpinan KIP. Bahkan, kalau perlu menuntut Presiden agar ?menyidik dan ?mengganti meminta pergantian Ketua KIP dan semua anggotanya yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut.

Pada pasal 6 UU No. 18 / 2008 jelas disebut Badan Publik berhak menolak memberikan informasi, yaitu: a). informasi yang dapat membahayakan negara, dan b). berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat.?

?KIP harus sadar dan tidak boleh berpura-pura pilon bahwa LSM asing pasti mengusung agenda tersembunyi untuk kepentingan ekonomi negara asing dan kepentingan ekonomi pengusaha yang mendanainya, ? tegas Ricky.

Ricky berpendapat, meskipun teknologi satelit asing mampu memotret dan memetakan detal berbagai kejadian di muka bumi, namun Peta Geospatial negara tetap harus diklasifikasikan sebagai informasi rahasia. Dalam konteks persaingan ekonomi global, data geospatial ?masuk klasifikasi informasi rahasia, yakni berkaitan dengan kewajiban negara melindungi setiap jenis investasi dan usaha dari ancaman konspirasi persaingan usaha.?

Data geospasial lahan usaha ibarat ?territory? dan "inherent identity? bagi eksistensi dan sustainabilitas usaha. Setiap makhluk hidup punya teritori yang khas dan unik untuk menopang kelangsungan hidup. ?Eksistensi teritori itu hanya bisa berkelanjutan jika semua komponen kehidupan di lingkup teritori berasosiasi untuk menopang kehidupan makhluk itu.?

Menurut ricky, kehadiran LSM lingkungan yang hipokrit dalam suatu livelihood perusahaan merupakan komponen disosiasi yang akan menghancurkan dunia usaha. Apalagi jika kehadiran LSM tersebut berada dalam kontinum teritorinya.?

?Selama LSM lingkungan masih memposisikan diri sebagai "penekan", mereka merupakan disosiasi bagi teritori perusahaan. Hanya pemerintah yang berhak mengetahui semua detail isi ?teritori? dan "inherent identity" suatu perusahaan.?

Ricky mengingatkan, meskipun dalam dua dekade terakhir LSM-lingkungan punya ?kemesraan? dengan pemerintah, mereka bukanlah pemerintah. ?LSM punya kepentingan menekan, sedangkan Pemerintah ?punya kewajiban melindungi rakyat dan pengusahanya dari tekanan siapapun.?

Ketua Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan (Persaki) Dodik Ridho Nurrochmat menilai, tiap keterbukaan infomasi punya berbagai dampak. Dampak positif masyarakat dapat terlibat mengawasi, ?sedangkan dampak negatif, biasanya ada penumpang gelap (free rider) yang mendompleng keterbukaan informasi itu, untuk kepentingan politik, ekonomi, kepentingan asing maupun lokal, kepentingan kelompok maupun pribadi. ?

Menurut Dodik, contoh sederhana ?dibukanya informasi peta dan data geospasial, ?maka dengan mudah akan terlihat areal-areal yang diplot sebagai areal High Conversation (HCV) yang dilindungi dan dibiarkan tetap dalam ?kondisi aslinya. ?

Bagi sebagian masyarakat, dalam tanda kutip, informasi sangat berguna untuk mencari lokasi "perambahan". Kawasan itu berpotensi diklaim sebagai lahan terlantar dan bukan merupakan bagian dari Hak Guna Bangunan (HGU) kebun atau konsesi Hutan Tanaman Indust (HTI). ??Apalagi, lahan HCV secara de facto cenderung merupakan kawasan terbuka (open access). Ini berbeda dengan lahan HGU atau HTI yang memang diawasi karena ada pengelolanya.? terangnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Vicky Fadil
Editor: Vicky Fadil

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: