Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Terkait Freeport, AMPI Dukung Kebijakan Pemerintah

Terkait Freeport, AMPI Dukung Kebijakan Pemerintah Kredit Foto: Freeport Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) mendukung langkah dan keputusan pemerintah dalam mengubah Konsep Kontrak Karya (KK) PT Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Dengan keputusan ini akan memperkuat penguasaan dan keberadaan pemerintah atas segala pengelolaan aset kekayaan sumber daya mineral yang terkandung dalam bumi wilayah kedaulatan Republik Indonesia," kata Ketua Bidang Energi dan Sumberdaya Mineral AMPI, Todotua Pasaribu, di Jakarta, Selasa (21/2/2017).

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah diminta untuk segera mempersiapkan segala hal terkait pelaksanaan kebijakan IUPK yang telah diputuskan. Bila Freeport McMoran Inc keluar dari pengelolaan tambang Grasberg maka tidak ada kekosongan pengelolalan korporasi yang mengakibatkan kerugian bagi pemerintah RI dan rakyat Papua.

Selain itu, kata Todu, segera mengambil tindakan yang strategis menyikapi efek pemberhentian operasi tambang Grasberg oleh Freeport, di mana lebih memperhatikan nasib dan keberadaan puluhan ribu karyawan yang bekerja di tambang tersebut, serta segala bentuk kepentingan yang terkait langsung bagi Pemerintah Daerah Papua dan Rakyat Papua.

Ketua Umum AMPI Dito Ariotedjo menegaskan Freeport McMoran Inc diberi Batas Waktu 120 hari, untuk angkat kaki dari wilayah kedaulatan RI atas penolakan IUPK dan rencana Arbitrase yang akan dilakukan.

Ia menjelaskan, pada 10 Februari 2017 pemerintah RI telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi, dan produksi di tambang Grasberg pasti terganggu. Sejak itu pula PT Freeport Indonesia telah menghentikan kegiatan produksinya karena para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan.

"Jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut goyang. Lebih dari 90 persen pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Mimika, sekitar 37 persen PAD Provinsi Papua. Akibat dari proses tersebut puluhan ribu pekerjanya pun mengancam menduduki kantor-kantor pemerintah, bandara, dan pelabuhan kalau pemerintah tak segera memulihkan segala bentuk kegiatan produksi yang selama ini terjadi di Freeport," katanya.

Menurut dia, pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral, dengan mengeluarkan Konsep Izin Usaha IUPK kepada PT Freeport Indonesia. IUPK bukan kontrak, posisi pemerintah sebagai pemberi izin menjadi lebih kuat dan berkuasa daripada korporasi sebagai pemegang izin," ujarnya.

Persoalannya, lanjut Dito, pemilik dan manajemen Freeport tak mau begitu saja mengubah Kontrak Karya yang selama ini mereka miliki dan sebentar lagi akan habis waktunya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tidak memberikan kepastian kepemilikan tambang, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti konsep Kontrak Karya yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).

Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi hingga 51 persen dari komposisi saham.

"Freeport keberatan melepas saham hingga 51 persen, karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham mayoritas dipegang pihak lain, dalam hal ini Pemerintah RI melalui perusahaan-perusahaan milik negara yang dimilikinya," ujarnya.

President dan CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, telah memberi pernyataan sikap resmi Freeport pada tanggal 20 februari 2017, di mana dalam Pernyataan sikap tersebut Freeport dengan tegas menyatakan tidak dapat menerima IUPK, bahkan Freeport bisa melakukan Arbitrase dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan pandangan tersebut.

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun "smelter" dalam jangka waktu lima tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51 persen.

Jika berubah menjadi IUPK, perusahaan harus mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (berubah-ubah atau prevailing), tidak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown). (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: