Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Staf Mantan Bendum Demokrat Didakwa Korupsi Alkes

Staf Mantan Bendum Demokrat Didakwa Korupsi Alkes Kredit Foto: Ferry Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Marisi Matondang, staf mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin didakwa melakukan korupsi alat kesehatan (alkes) Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana (RS PKPIP UNUD) anggaran 2009 sehingga merugikan negara Rp7 miliar.

"Terdakwa Marisi Matondang selaku Direktur I PT Mahkota Negar bersama-sama dengan Made Meregawa selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam proyek pengadaan Alkes RS PKPIP Unud tahun anggaran 2009 dan bersama Muhammad Nazaruddin melakukan perbuatan memperkaya korporasi PT Mahkota negara sejumlah Rp5,499 miliar yang dapat merugikan keuangan negara sejumlah Rp7 miliar," kata jaksa penuntut umum KPK Budhi Sarumpaet dalam sidang pembacaan dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (8/5/2017).

Jaksa menambahkan cara-cara yang dilakukan adalah pertama, mencari dan mengusulkan nama perusahaan-perusahaan calon peserta lelang yang akan menjadi perusahaan pendamping PT Mahkota negara; kedua, merekayasa dokumen administrasi dan surat penawaran harga (SPH) dari perusahaan-perusahaan pendamping tedrsebut; ketiga, mempengaruhi panitia pengadan untuk menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) berdasarkan data dan harga dari PT Mahkota Negara dengan spesifikasi barang/alkes yagn megnarah pada merk/produk perusahaan tertentu sesuai keinginan PT Mahkota Negara.

Selanjutnya keempat, mempengaruhi panitia lelang dengan cara melibatkan pegawai dari PT Anugerah Nugsantara atau Permai Grup atau Anugerah Grup yang merupakan perusahaan induk PT Mahkota Negara selaku peserta pengadaan dalam proses evaluasi penawaran; dan kelima, membuat dan menadatangani Berita Acara Serah Terima Barang/Pekerjaan (BAST) fiktif agar pembayaran pekerjaan pengadaan Alkes dibayarkan 100 persen walau tidak sesuai dengan prestasi pekerjaan yang sebenarnya.

Awalnya pada Januari 2009 di kantor Anugerah Grup, dilakukan rapat dimana Nazaruddin menyampaikan sedang mengusahakan anggaran dari Kementerian Keuangan untuk Kementerian Pendidikan antara lain untuk Unud Bali. Ia memerintahkan Mindo Rosalina Manulang dan Clara Maureen untuk mengurus anggaran Unud sejak dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sampai ke Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan sampai persetujuan anggaran di DPR.

Ada tiga tim untuk memenangkan perusahaan-perusahaan yang ada dalam kendali Anugerah Grup yaitu (1) tim administrasi yang terdiri atas Marisi, Amin Andoko dan Unang Sudrajat, (2) tim marketing yaitu Mindo, Minarsih, Gerhana Sianipar, Clara Maureen, Evli Syafitri dan Edita Wijaya alias Didit dan (3) tim keuangan yaitu Yulianis dan Oktarina Furi.

APBN 2009 akhirnya memasukkan anggaran alkes RS PKPIP Unud sejumlah Rp18,523 miliar. Selanjutnya sesuai arahan Nazaruddin dengan sepengetahuan Marisi, Mindo meminta Clara dan Elvi menghubungi vendor yang mau bekerja sama untuk menyuplai alkes dengan meminta diskon minimal 40 persen + 3 persen dan tidak ada pajak. Setelah panitia pengadaan terbentuk, merka pun dibantu orang dari jakarta yaitu Elvi Syafitri dan Edita Wijaya.

Kemudian atas perintah Made Meregawa, panitia pengadaan menyusun HPS berdasarkan spesifikasi alkes dan harga yang mengarah pada merk/produk perusahaan berdasarkan dokumen yang diserahkan Elvi. Panitia tidak pernah melakukan survei, pengecekan maupun perbandingan harga ke perusahaan-perusahaan supplier Alkes sehingga menetapkan HPS adalah Rp18,33 miliar.

"Terdakwa lalu mengajukan usulan nama-nama perusahaan yang telah terdakwa siapkan sebelumnya yaitu PT Nuratindo Bangun Perkasa, PT Alfindo Nuratama Perkasa, PT Borisdo Jaya, PT Digo Mitra Slogan, PT Gexcacam Intranusa dan PT Mahkota Negara. Selanjutnya terdakwa menyarankan Nazaruddin agar yang ditetapkan sebagai pemenang lelang adalah PT Mahkota Negara dimana terdakwa menjawab selaku Direktur I dan atas saran terdakwa tersebut, Nazaruddin menyetujuinya," ungkap jaksa Budhi.

PT Mahkota Negara pun menjadi pemenang dengan harga penawaran Rp18,02 miliar.

"Terdakwa menyuruh stafnya untuk memalsukan tanda tangan Direktur PT Nuratindo Bangun Perkasa, PT Alfindo Nuratama Perkasa, PT Borisindo Jaya, PT Digo Mitra Slogan dan PT Gexacom Intranusa dalam dokumen administrasi dan teknis masing-masing perusahaan yang nantinya akan diserahkan kepada panitia pengadaan," tambah jaksa Budhi.

Sehingga pada 21 Oktober 2009, Made Meregawa selaku PPK mengumumkan perusahaan pemenang lelang dan menetapkan PT Mahkota Negara sebagai pemenang. Padahal perusahaan itu tidak memiliki alkes yang dibutuhkan sebagaimana dalam kontrak pengadaan.

"Seluruh pengiriman, instalasi dan pelatihan dalam pengadaan alkes RS PKPIP Unud dilaksanakan oleh perusahaan vendor yang sebelum pengadaan telah memberikan surat dukungan kepada PT Mahkota Negara," jelas jaksa Budhi.

Panitia pemeriksa barang juga hanya menghitung jumlah barang per item alkes tanpa melakukan pemeriksaan atas berfungsi atau tidaknya alkes itu bahkan panitia penerima barang sama sekali tidak membuka kemasan alkes namun tetap mendatangani berita acara pemeriksaan barang padahal barang belum selesai 100 persen dan baru 4 jenis alkes yang diterima Unud dari 31 jenis alkes yang seharusnya diterima.

Selanjutnya pembayaran pun dilakukan dalam 2 tahap yang total pembayaran setelah dipotong pajak adalah Rp16,136 miliar padahal seharusnya pembayaran dilakukan dalam 3 tahap.

Atas perbuatannya, Marisi didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Marisi tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) sehingga sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi pada pekan depan.(Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: