Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat mengatakan pihaknya menolak otomatisasi gardu jalan tol karena akan membuat para pekerja diputus hubungan kerjanya.
"Ribuan pekerja jalan tol hari ini bergabung bersama ratusan ribu buruh menggelar aksi unjuk rasa di beberapa lokasi antara lain di Kementerian BUMN dan Istana Negara," kata Mirah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (29/9/2016).
Mirah yang juga presiden Serikat Karyawan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (SKJLJ) mengatakan aksi ribuan pekerja jalan tol itu dimaksudkan untuk menyampaikan aspirasi penolakan terhadap rencana pemerintah yang akan melakukan otomatisasi gardu tol di seluruh Indonesia.
Pemerintah, kata dia, seharusnya menciptakan lapangan pekerjaan dan menjamin pekerjaan yang layak bukan mem-PHK puluhan ribuan pekerja tol. Dampak PHK massal tentunya juga akan dirasakan oleh keluarga pekerja.
Menurut dia, pemerintah jangan hanya ingin mengejar kepentingan bisnis sehingga melupakan kewajiban negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keuntungan perusahaan pengelola jalan tol, kata dia, sesungguhnya sudah sangat tinggi sehingga tidak ada alasan untuk mem-PHK pekerjanya. Terlebih PHK itu dikemas dalam bentuk kebijakan otomatisasi gardu tol yang disebut sebagai efisiensi.
Maka dari itu, Mirah mengatakan Aspek Indonesia dan APJATSI menuntut pemerintah, dalam hal ini presiden, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN, untuk menghentikan rencana otomatisasi gardu tol di seluruh Indonesia yang berkedok efisiensi.
Selain itu, kata dia, Aspek Indonesia dan APJATSI mendesak pihak terkait tidak melakukan PHK terhadap para pekerja di jalan tol.
Mengutip Data BPS tahun 2015, Mirah mengatakan pengangguran di Indonesia sudah berjumlah 7,7 juta orang. Untuk itu, angka pengangguran jangan ditambah lagi.
Mirah juga menyoroti "pengambilan paksa" uang masyarakat lewat biaya administrasi penggunaan kartu uang elektronik yang biasa digunakan untuk membayar tol otomatis. Menurut dia, pengguna kartu "e-toll" tanpa sadar uangnya diambil oleh pihak pengelola jalan tol dan oleh bank yang menerbitkan kartu uang elektronik.
Mirah mencontohkan, apabila masyarakat membeli kartu "e-toll" seharga Rp50 ribu maka pengguna hanya mendapatkan saldo sebesar Rp30 ribu. "Ke mana selisih uang yang Rp20 ribu? Konsumsen 'dipaksa' untuk merelakan kehilangan dananya, bahkan sebelum kartu 'e-toll' digunakan untuk transaksi," katanya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: