Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sanksi Subprime Mortgage Menerpa, Harga Saham Deutsche Bank Anjlok

        Sanksi Subprime Mortgage Menerpa, Harga Saham Deutsche Bank Anjlok Kredit Foto: Theguardian.com
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Baru-baru ini terdapat berita menggemparkan mengenai Deutsche Bank. Bank ini dikenakan denda USD14 miliar oleh Department of Justice Pemerintah Amerika Serikat karena salah dalam menjual produk subprime mortgage. Kasus subprime mortgage ini mengingatkan kepada krisis finansial di tahun 2008.

        Akibat dari masalah ini harga saham bank mendapat tekanan sehingga turun ke nilai terendah selama 30 tahun. Harga saham Deutsche Bank diperdagangkan EUR11.50 turun dari EUR47 pada tahun 2014 dan EUR109 di tahun 2007. Di atas kertas laporan keuangan, nilai Deutsche Bank lebih dari EUR60 miliar, namun nilai saat ini akan menjadi kurang dari seperempatnya. Tentu saja, anjloknya harga saham ini merugikan investor saham.

        Permasalahan subprime mortgage Deutsche Bank muncul setelah investigasi yang panjang. Department of Justice Amerika Serikat bulan lalu bergerak mengenakan sanksi USD14 miliar atas praktik fraud pada subprime mortgage yang membawa krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa tahun 2008. Sanksi ini bocor diketahui Wall Street Journal ketimbang didiskusikan kedua pihak di ruang tertutup untuk memperoleh penyelesaian denda.

        Masalah Deutsche Bank ada dua. Pertama, masalahnya adalah thinly capitalised?dan kedua adalah bank tidak memiliki makna imbal hasil yang baik (tinggi) pada platform keuangannya. Thinly capitalised menyebabkan komposisi modal perusahaan lebih banyak didominasi utang dari pada ekuitas sehingga memperburuk rasio leverage atau rasio gearing.

        Wall Street Journal menyebutkan Deutsche Bank bukan sekedar menghadapi masalah tambahan modal, namun bagaimana meyakinkan investor untuk memasukkan modal bahwa imbal hasil yang akan diterima investor lebih besar dari pada cost of capital di tahun-tahun yang akan datang.

        Masalah yang dihadapi Deutsche Bank sebagai salah satu bank terbesar di dunia dikhawatirkan akan menimbulkan risiko sistemik pada jasa keuangan dan perbankan dunia sehingga mencetuskan wacana bailout (penyelamatan) oleh pemerintah Jerman untuk menghindari financial crash yang baru.

        Posisi keuangan Deutsche Bank bahkan menjadi perhatian selama beberapa tahun. IMF bulan Juni lalu mengatakan Deutsche Bank akan mengarah kepada kontributor paling penting dari risiko sistemik di sistem keuangan global. Namun, menurut Sunday Times, 1 Oktober 2016, Kanselir Angela Merkel nampaknya menolak melakukan bail out.

        Di Inggris, Royal Bank of Scotland, Rabu pekan lalu mengumumkan penyelesaian kesepakatan dua perkara hukum sebesar 845juta. RBS memiliki posisi yang lebih baik untuk membayar denda Department of Justice Amerika Serikat.

        Nampaknya, pengenaan denda oleh Department of Justice Amerika Serikat kepada korporasi Eropa ini meningkatkan ketegangan hubungan antara Amerika Serikat dengan Uni Eropa sebagai sebagai balasan atas keputusan Uni Eropa terhadap Apple berupa tax bill sebesar EUR13 miliar.

        Namun demikian, pengamat keuangan seperti Goldman Sachs optimis denda Pemerintah Amerika Serikat dapat dinegosiasikan menjadi lebih rendah dan Deutsche Bank dapat menyelesaikan masalah ini.

        Terkait dengan subprime mortgage, bank-bank yang lain telah menerima sanksi lebih dahulu dari pada Deutsche Bank. The Economist mengestimasi bahwa dari tahun 2008 sampai dengan Oktober 2013, bank-bank di Amerika Serikat membayar USD95 miliar atas denda terkait mortgage, yaitu Bank of America (USD47,2 miliar), JP Morgan Chase (USD22,3 miliar), Wells Fargo (USD9,8 miliar), Citigroup (USD6,2 miliar) dan Goldman-Sachs (USD0,9 miliar). Tetapi, Bloomberg melaporkan bahwa dari akhir 2010 sampai Oktober 2013, enam bank terbesar Wall Street setuju membayar USD67 miliar.

        Nampaknya, sanksi denda yang besar adalah hasil dari upaya Satuan Tugas Penegakan Hukum atas Fraud Keuangan atau Financial Fraud Enforcement Task Force (FFETF) yang dibentuk oleh Presiden Obama bulan November 2009 untuk menginvestigasi dan menuntut kejahatan finansial. Berdasarkan situs FFTF (www.stopfraud.gov), FFETF melibatkan 27 instansi federal, termasuk FBI, dan kejaksaan serta instansi di negara bagian.

        Fraud dan kejahatan finansial di Amerika Serikat memang, menurut saya, mengkhawatirkan karena basis terjadinya fraud finansial di sana adalah keserakahan dan materialisme sehingga inisatif Presiden Obama merupakan suatu terobosan. Langkah serupa telah lebih dahulu dilakukan Inggris yang membentuk Serious Fraud Office (SFO).

        Yang menarik, berdasarkan pencarian berita di Google, Deutsche Bank mengalami beberapa kasus fraud dengan sanksi besar seperti

        Pada skandal libor fixing pada tahun 2012 yang melibatkan bank-bank besar dunia, pada bulan Desember 2013 Deutsche Bank didenda EUR259 juta oleh Komisi Eropa atas libor fixing periode 2007-2010 untuk mata uang JPY. Pada bulan April 2015, kembali didenda oleh Regulator Amerika Serikat sebesar USD2.175 miliar dan EUR227 juta oleh Regulator Inggris (sumber Wikipedia diunduh 1 Oktober 2016).

        Tujuh mantan pegawai Deutsche Bank divonis bersalah pada tax fraud yaitu tax evasion terkait penjualan sertifikat emisi karbon dan persekongkolan PPN sehingga Deutsche Bank harus membayar EUR220 juta dan denda berkisar EUR10.000-200.000 (sumber Wall Street Journal 13 Juni 2016).

        Seperti yang sudah dibahas pada artikel sebelumnya, fraud itu sangat berbahaya, merugikan pemilik uang yaitu investor dan kreditur, masyarakat dan bahkan negara sehingga pantas fraud disebut sebagai perbuatan jahat dan bukan hanya disebut sebagai perbuatan tidak etis.

        Deutsche Bank sebagai korporasi besar pun yang dianggap memiliki governance yang kokoh pun mengalami fraud. Pada skandal fraud korporasi, biasanya dampak fraud adalah pada anjloknya harga saham bahkan hancurnya harga saham, insolvency, bahkan kebangkrutan.

        Kita berharap pengatur tata kelola dan peraturan, baik yang berada di korporasi maupun di pemerintah, dapat mengembangkan atau mewajibkan implementasi program dan budaya anti-fraud. Pengawas atau regulator hendaknya serius mengawasi dan memeriksa implementasi program dan budaya anti-fraud tersebut.

        Penulis: Diaz Priantara, Board of IIA Indonesia, Board of ACFE Indonesia Chapter, Member of Ikatan Akuntan Indonesia, Member of Institut Akuntan Publik Indonesia, Member of Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Lektor Kepala Univ. Mercu Buana

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: