Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Perkuat Mitigasi dan Sempurnakan Sistem Peringatan Dini

        Perkuat Mitigasi dan Sempurnakan Sistem Peringatan Dini Kredit Foto: Bnpb.go.id
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Jika mengacu pada pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana maka mitigasi bencana sejatinya merupakan serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana.

        Jenis mitigasi bencana yang dilakukan terbagi dua, yakni struktural dan nonstruktural. Mitigasi struktural yang dilakukan yakni meminimalkan bencana yang dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS) yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami.

        Sedangkan mitigasi nonstruktural yang dilakukan yakni mengurangi dampak bencana dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan.

        Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota, "capacity building" masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagai aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga bagian dari mitigasi ini.

        Meski demikian, pemanfaatan teknologi EWS untuk mitigasi bencana bukan tidak ada masalah, karena terkadang kekuatan dan kecepatan bencana juga bisa membuat sistem tersebut tidak bekerja.

        Kondisi tersebut terjadi pada bencana banjir bandang di Garut, Jawa Barat, pada 20 September 2016, yang menurut Kepala Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Henry Bastaman, dengan curah hujan sangat tinggi mencapai 255 milimeter (mm) yang terjadi selama tiga jam ditambah air limpasan (run off) dari hulu Sungai Cimanuk maka semua menjadi tidak terkendali.

        Kelemahan EWS ini pun diamini oleh Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Handoko Seto. Bahwa alat-alat yang terpasang untuk memantau gerakan tanah, banjir, atau tsunami mungkin tidak berfungsi ketika tingkat bencananya sangat kuat dan kejadiannya berlangsung sangat cepat.

        Sejumlah universitas juga telah melakukan penelitian dan atau pengembangan teknologi EWS, seperti Universitas Andalas, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Dalam penelitian memang juga diperhitungkan delay peringatan yang dihasilkan masing-masing alat peringatan dini.

        Kejadian pada 4 Juni 2007 di Aceh dan Aceh Besar, tiga sirene tsunami EWS berbunyi diketahui ternyata disebabkan karena adanya pesan yang delay dikirimkan oleh operator ke perangkat sirene dari hasil uji coba oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang dilakukan sehari sebelumnya.

        Saat uji coba alat EWS memang dimatikan, dan baru diaktifkan lagi setelah uji coba selesai, informasi yang delay saat alat dimatikan akhirnya diterima sehari setelahnya setelah alat diaktifkan kembali dan akhirnya membuat EWS bekerja dan sirene berbunyi.

        Jika sebelumnya dicontohkan penyebab kegagalan alat peringatan dini lebih dikarenakan persoalan teknis, maka contoh persoalan nonteknis ditemukan di Probolinggo, Jawa Timur, di mana alat pemantau aktivitas Gunung Bromo milik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang dipasang di Lautan Pasir, Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kabupaten Probolinggo hilang pada 18 Septermber 2016.

        Meski alat mitigasi bencana tersebut kini telah diganti namun kejadian tersebut, menurut Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat PVMBG Hendra Gunawan, sempat mengganggu monitoring dan pengawasan di gunung berapi tersebut.

        Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan hilangnya logger tiltmeter ts4200, POE, switch hub 8 port, regular solar panel, moxa serial to utp converter, looger gas sensor CO2, antena broadband, dan DC to CD converter yang sebenarnya ditempatkan dalam satu box beton ukuran 1,5x2 meter yang terkunci dan dilindungi pagar ini berdampak pada proses pemantauan aktivitas Gunung Bromo yang menggunakan metode deformasi dan geokimia.

        Pemantauan tidak dapat dilakukan, tingkat ketelitian pemantauan menjadi berkurang dibandingkan dengan periode sebelumnya, ujar dia.

        Sementara itu, pakar gempa Universias Islam Indonesia Yogyakarta Prof Sarwidi mengatakan gempa Mentawai yang terjadi beberapa waktu lalu dapat menjadi evaluasi bagi sistem EWS.

        Sisi peringatan dini memang selalu menjadi kelemahan dalam menghadapi bencana di negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.

        Menurut di, fenomena alam berupa gempa akan terus mengancam di sejumlah wilayah di Indonesia sehingga perlu ada antisipasi yang lebih baik lagi ke depan. Terutama di daerah-daerah berpotensi tsunami yang ditimbulkan oleh gempa. Khusus daerah seperti ini EWS harus bagus dan berjalan.

        Ia mengatakan Indonesia masih lemah dalam segi perawatan alat peringatan dini. Ini menjadi kelemahan yang juga ada di negara berkembang lain pada umumnya.

        Sistem besar Terkait dengan mitigasi bencana longsor dan banjir, BPPT mengusulkan pembentukan sebuah sistem besar peringatan dini nasional guna menyempurnakan sinergi upaya mitigasi menghadapi dua bencana tersebut. Seto mengatakan Indonesia membutuhkan sistem peringatan dini yang mumpuni.

        Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyak memiliki banyak data banjir, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral memiliki peta rawan longsor, sedangkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga memiliki studi kerawanan longsor.

        Masing-masing institusi juga ada yang telah memasang alat-alat peringatan dini dalam jumlah yang tidak signifikan dan kurang terkordinasi, sehingga secara nasional tidak banyak memberikan kontribusi, ujar Seto.

        Sinergi untuk menyempurnakan sistem peringatan dini harus dilakukan sehingga tercipta sistem peringatan dini nasinonal bencana yang terpadu, lanjutnya. Sebuah sistem cerdas peringatan dini bencana perlu dibangun dimulai dengan membuat sebuah pusat data, informasi, prediksi, dan operasi yang dilengkapi dengan peralatan canggih dan sistem komputasi berkecepatan tinggi.

        Guna memastikan akurasi terpenuhi maka setiap pagi dilakukan ?running? secara otomatis model prediksi hujan di Indonesia untuk 24 jam ke depan. Agar cukup detil untuk wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi sekitar enam wilayah, dan semua itu dapat dilakukan secara otomatis.

        Jika ada daerah yang diperkirakan akan terjadi hujan tinggi dalam 24 jam ke depan maka akan muncul peringatan dini, dan ini juga bisa dilakukan seceara otomatis.

        Deteksi peringatan dini tersebut diteruskan ke daerah secara otomatis melalui aplikasi pesan instan dan atau surat elektronik kepada pemangku kepentingan di daerah terutama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), agar daerah secara intensif memantau perkembangan cuaca menggunakan data satelit yang diperbarui per 10 menit plus data radar BMKG yang mendekati waktu yang sebenarnya atau "near real time".

        Selanjutnya pemerintah daerah (Pemda) dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat akan sistem distribusi informasi peringatan dini bencana banjir dan longsor tersebut Informasi presiksi hujan yang mungkin dapat memicu longsor juga harus dipadukan dengan peta rawan banjir dan atau rawan longsor, juga informasi prediksi gelombang laut untuk daerah-daerah yang rawan banjir rob.

        "Namun sebagai langkah awal, sangat penting dan segera bagi kita untuk memiliki sistem nasional peringatan dini bencana banjir. Jika EWS yang terpasang tidak bekerja maka masih ada sistem besar mitigasi prabencana yang bekerja, sehingga kerugian akibat bencana semakin optimal ditekan," ujar Seto.

        Gambut Mitigasi dengan memanfaatkan teknologi sensor juga dilakukan di daerah gambut, dan saat ini persiapan matang dilakukan Badan Restorasi Gambut (BRG) dibantu para ahli dan akademisi di sejumlah perguruan tinggi dan BPPT menyiapkan agar sistem mitigasi kebakaran lahan gambut menggunakan Sensory Data Transmission Service Assisted (Sesame) dari Jepang ini dapat segera diterapkan di beberapa lokasi prioritas agar tinggi muka air di lahan gambut selalu terpantau.

        Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) yang juga merupakan peneliti dan perekayasa senior BPPT Bambang Setiadi mengatakan pihaknya telah merampungkan pembangunan peladen (server) untuk menerima data dan informasi yang dikirimkan Sesame di Puspiptek Serpong.

        Harapannya laman (website) berbahasa indonesia yang digunakan untuk menampilkan data dan informasi permukaan muka air gambut di sejumlah lokasi tersebut dapat selesai pertengahan Oktober 2016, sehingga pemantauan dapat segera dilakukan untuk mengatasi kebakaran di hutan dan lahan gambut.

        Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut (BRG) Haris Gunawan mengatakan segera menyiapkan instrumen untuk mewajibkan pihak swasta yang area konsesinya masuk dalam obyek restorasi gambut untuk memasang teknologi sensor muka air lahan gambut yang dapat diakses sewaktu-waktu.

        "Jangan lupa target restorasi 2016 mencapai 600.000 hektare (ha) dari total 2,1 juta ha yang kita tahu paling banyak itu merupakan kawasan konsesi milik swasta. Jadi kewajiban siapa untuk pantau muka air gambut sudah pasti semua tahu jawabannya," ujar dia.

        Pemasangan teknologi sensor Sesame ini akan menjadi mandatori, dan diinstal dengan berbagai macam kesepakatan protokoler yang akan ditetapkan BRG. Sehingga data swasta juga bisa dilihat pengambil kebijakan, bahkan langsung data dapat terlihat oleh Presiden Joko Widodo di istana, ujar dia.

        BRG memprioritaskan pemasangan sensor di daerah Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di empat kabupaten yakni Ogan Komering Ilir (OKI), Musi Banyuasin, Kepulauan Meranti, dan Pulang Pisau. Kriteria pemasangan sensor tersebut akan dilakukan di lokasi gambut yang terbakar 2015, KHG yang berkanal, dan lahan gambut yang berkanal.

        Tujuan akhir pemanfaatan teknologi-teknologi mitigasi bencana tersebut pada akhirnya sebagai pemenuhan tanggung jawab pemerintah yang telah diamanatkan dalam PP maupun Undang-undang yang ada.

        Meski demikian, bencana diperkirakan akan semakin besar di masa depan di picu oleh alam maupun ulah manusia, karenanya penguatan sistem mitigasi harus dilakukan dengan selalu memperbarui dan menyempurnakan sistem peringatan dini yang sudah ada. (Ant/Virna Puspa Setyorini)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Sucipto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: