Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ketika Indonesia Belajar dari Negeri Jiran

        Ketika Indonesia Belajar dari Negeri Jiran Kredit Foto: Nytimes.com
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Di jagad pendidikan tinggi di tingkat Asia dan dunia, Malaysia tak lagi bisa dipandang sebelah mata karena sejumlah universitas di negeri jiran itu berhasil bertengger di jajaran lembaga pendidikan tinggi elite.

        Webometrics, pemeringkat situs universitas dunia edisi Juli 2016, misalnya, menunjukkan fakta bahwa tak satu pun perguruan tinggi Indonesia yang masuk dalam daftar 100 terbaik di Asia.

        Sebaliknya, Singapura, Malaysia dan Thailand berhasil menempatkan beberapa universitasnya dalam daftar bergengsi tingkat Asia yang didominasi perguruan tinggi-perguruan tinggi dari Cina, Jepang, Hong Kong, dan Korea Selatan itu.

        Singapura diwakili Universitas Nasional Singapura (NUS) dan Universitas Teknologi Nanyang (NTU) yang masing-masing menempati posisi 6 dan 8, sedangkan Thailand diwakili Universitas Mahidol (43), Universitas Kasetsart (52) dan Chulalongkorn University (64).

        Adapun Malaysia menembus daftar 100 situs universitas terbaik di tingkat Asia itu dengan menempatkan Universiti Malaya di posisi 63, Universiti Sains Malaysia (74), dan Universiti Teknologi Malaysia (77).

        Gambaran tentang ketertinggalan perguruan tinggi Indonesia di tingkat Asia dan apalagi dunia itu juga tercermin dari hasil pemeringkatan Times Higher Education World University Ranking 2015-2016.

        Dari hasil pemeringkatan tersebut, Singapura menempatkan NUS dan NTU di posisi 26 dan 55 sedangkan Universitas Teknologi Malaysia menembus posisi 401-500. Adapun Indonesia diwakili oleh Universitas Indonesia yang berada di urutan 601-800.

        Dilihat dari pencapaian riset perguruan tinggi yang terindeks Scopus, posisi universitas-universitas di Indonesia masih di bawah mitra mereka dari Malaysia. Realitas ini dapat dilihat dari data 50 perguruan tinggi Indonesia paling produktif dalam riset menurut Scopus hingga 1 Agustus 2016 yang dipublikasi Dosen ITB Hendra Gunawan dalam blog personal FMIPA ITB.

        Dari data tersebut, tampak jumlah publikasi penelitian Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) yang mencapai 24.633 setara dengan penggabungan seluruh publikasi riset 16 universitas terbaik Indonesia yang terindeks Scopus pada periode yang sama.

        Sementara, jumlah publikasi ITB pada periode yang sama tercatat 6.048, UI (4.810), UGM (3.616), IPB (2.288), ITS (1.775), Universitas Brawijaya (1.245), Undip (1.167), Unpad (1.055), Universitas Hasanuddin (934), dan Unair (887).

        Seterusnya, Universitas Bina Nusantara (724), Universitas Andalas (769), Universitas Syah Kuala (673), Universitas Udayana (649), Universitas Sebelas Maret (601), Universitas Telkom (455) dan USU (353).

        Ketertinggalan perguruan tinggi di Indonesia dari universitas-universitas di negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand itu diakui Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir.

        Orang nomor satu di Kemenristek Dikti RI ini pun tak pernah lelah mengingatkan para rektor perguruan tinggi negeri dan swasta di Tanah Air agar terus membenahi berbagai hal yang diperlukan untuk menigkatkan kualitas pendidikan dan daya saing lulusan universitasnya di tingkat ASEAN dan dunia.

        Dalam Simposium Nasional Akuntasi XVIII di Auditorium USU pada 17 September 2015, misalnya, Mohammad Nasir telah menegaskan bahwa peringkat dan kualitas pendidikan Indonesia yang masih tertinggal dari negara-negara anggota ASEAN, seperti Singapura dan Malaysia, mutlak mendapat perhatian serius.

        Peningkatan mutu dan relevansi dipandang Mohammad Nasir sebagai prioritas pendidikan tinggi Indonesia untuk dapat mengejar ketertinggalan kualitas universitas-universitas di Tanah Air dari berbagai perguruan tinggi papan atas di kawasan dan dunia.

        Di era persaingan pasar bebas ASEAN dan dunia saat ini, dia pun memandang pendidikan tinggi di Tanah Air tak lagi cukup hanya sebagai agen pendidikan dan riset tetapi juga agen pembangunan ekonomi yang ditandai dengan lahirnya lulusan yang cakap dan inovatif, dan hasil penelitian yang mumpuni.

        Terkait dengan pandangan Menristek Dikti Mohammad Nasir tentang signifikansi perguruan tinggi di Indonesia menjadi agen pembangunan ekonomi ini, Malaysia telah melakukannya dengan menggelontorkan dana puluhan juta ringgit untuk meningkatkan daya asing ekonominya di tingkat dunia.

        Menurut laporan Otoritas Pengembangan Investasi Malaysia (MIDA), sumber-sumber pertumbuhan baru yang mendukung pengembangan kemampuan Malaysia dalam menyerap dan mengembangkan sains dan teknologi melalui pembangunan, riset dan inovasi terus digalakkan.

        Bidang-bidang yang menjadi prioritas kegiatan riset dan pengembangan negeri jiran itu adalah kelistrikan dan elektronika, permesinan dan perlengkapan, kimia, kedokteran dan kedirgantaraan.

        Dalam konteks ini, perihal inovasi, kemampuan berinovasi, mutu lembaga riset sains, belanja perusahaan untuk kegiatan riset dan pengembangan, kerja sama perguruan tinggi dan industri dalam riset dan pengembangan, pengadaan produk-produk teknologi tinggi oleh pemerintah, ketersediaan ilmuwan dan insinyur, serta paten dijadikan ukuran.

        Strategi Malaysia dalam membangun daya saing ekonominya, dan bagaimana kalangan perguruan tinggi negara itu membangun reputasinya di bidang riset yang berdampak positif pada keberhasilan program internasionalisasi perguruan tingginya agaknya patut dicermati Indonesia.

        Perlahan namun pasti, Malaysia kini telah menjadi salah satu negara tujuan belajar ratusan ribu orang pelajar dan mahasiswa dari 160 negara, termasuk Indonesia.

        Bahkan, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara penyumbang keberadaan para mahasiswa tingkat pascasarjana di berbagai universitas di negeri jiran tersebut di samping Bangladesh, Nigeria, Cina,Pakistan, Yaman, Libya, Sudan, Kazakhstan dan India.

        Menteri Pendidikan Kedua Malaysia Datuk Seri Idris Jusoh seperti dikutip Kantor Berita Bernama (2015) menyebutkan jumlah mahasiswa internasional yang mendaftar di berbagai program pascasarjana di negaranya mencapai sedikitnya 27.812 orang.

        Kehadiran puluhan ribu mahasiswa asing yang melanjutkan studi mereka di berbagai program pascasarjana tersebut turut berkontribusi pada keberhasilan Malaysia dalam meningkatkan publikasi riset terindeks Scopus.

        Dekan Fakultas Sains and Teknologi Informasi Universitas Teknologi Petronas (UTP) Assoc Prof Dr Ahmad Kamil bin Mohmood mengakui kontribusi penting para mahasiswa internasional, khususnya mereka yang menempuh program doktoral,ini dalam perbincangannya dengan Antara di Bogor setahun lalu.

        "Tidak mungkin itu dicapai tanpa mahasiswa 'postgraduate' (pascasarjana) dari Malaysia dan luar negeri. Indonesia termasuk dalam daftar negara-negara yang memberi kontribusi mahasiswa program magister dan doktoral pada universitas-universitas di Malaysia," katanya.

        Dalam perbincangan tentang kiat Malaysia dalam memperkuat publikasi riset perguruan tingginya yang terindeks Scopus itu, dia lebih lanjut menjelaskan bahwa keberhasilan Malaysia tersebut tidak dicapai dari sebuah proses yang pendek dan tidak terencana dengan baik.

        Malaysia sudah mulai menggenjot kinerja riset dan publikasi di jurnal-jurnal sains terindeks Scopus pada 2007. Hasilnya kemudian mulai dirasakan pada 2009 dan berlanjut hingga saat ini.

        Semua itu dilakukan untuk membuka jalan bagi Malaysia mewujudkan ambisinya menjadi salah satu "hub" (pusat) perguruan tinggi berkelas dan bereputasi dunia di Asia Pasifik yang selama ini masih didominasi oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi Australia, Selandia Baru, dan Singapura.

        Untuk mencapai ambisi itu, Malaysia tidak memiliki pilihan lain, kecuali harus mampu meningkatkan peringkat perguruan tingginya di tingkat dunia dengan keunggulan di bidang pendidikan dan pengajaran serta penelitian.

        Anggaran penelitian pun digelontorkan pemerintah dalam jumlah yang tidak sedikit, yakni mencapai 800 juta ringgit per tahun, kata pakar sistem informasi UTP ini.

        Keberhasilan Malaysia dalam mengembangkan pendidikan tingginya hingga mampu meraih pencapaian yang lebih baik dari Indonesia ini layak dijadikan pelajaran untuk memperbaiki diri dan mengejar ketertinggalan selama ini. (Ant)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Sucipto

        Bagikan Artikel: