Fahmi, Kuasa Hukum mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Irman Gusman mengatakan pelimpahan berkas kliennya ke pengadilan oleh Komisi Pemberasantan Korupsi (KPK) tidak sah.
"Itu saya bilang P21 jadi tidak sah karena tersangka belum pernah diperiksa sekalipun dan saya heran kenapa bisa dijadikan P21," kata Fahmi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (1/11/2016).
Menurutnya, dalam prosedur penanganan perkara pemeriksaan, tersangka itu punya hak untuk mendengarkan saksi dan ahli yang meringankannya sebagai mana terdapat dalam Pasal 116 KUHAP.
"Kalau itu tidak di periksa dan langsung P21, itu berarti hak tersangka dalam KUHAP diabaikan," ucap Fahmi.
Menurutnya, KPK menginginkan bahwa dengan perkara sudah mulai diperiksa di pengadilan, maka proses praperadilan akan gugur.
"Mungkin itu yang akan dikejar KPK dengan cara dilimpahkan," ucap Fahmi.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum KPK menyatakan berkas perkara mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman sudah lengkap atau P21 dan juga sudah dilimpahkan ke pengadilan.
"Sudah kami limpahkan, jadi kan menurut Pasal 50 KUHAP, ada hak terdakwa bahwa terdakwa berhak untuk segera diadili di pengadilan," kata Setiadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (31/10).
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (1/11) kembali menggelar sidang lanjutan praperadilan Irman Gusman yang beragendakan penyerahan kesimpulan akhir dari pihak pemohon dan termohon kepada Hakim Tunggal I Wayan Karya.
Selanjutnya, pada Rabu (2/11) dijadwalkan pembacaan putusan akhir sidang praperadilan Irman Gusman.
Dalam permohonan praperadilannya, Irman Gusman secara total mengajukan 11 pokok permohonan (petitum).
Pertama, mengabulkan permohon pemohon praperadilan untuk seluruhnya.
Kedua, menyatakan penyidikan oleh termohon dalam perkara ini adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketiga, menyatakan tidak sahnya penangkapan dan penahanan dari konteks surat perintah penahanan oleh termohon Sprinap/84/01/09/2016 tetanggal 17 September 2016.
Keempat, menyatakan surat perintah penyidikan nomor spindik 66/01/09/2016 tertanggal 17 September 2016 yang menetapkan pemohon sebagai tersangka oleh termohon terkait tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 Huruf A, Pasal 12 Huruf D dan Pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum.
Oleh karenanya penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kelima, menyatakan penetapan tersangka terhadap diri pemohon adalah tidak sah.
Keenam, menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh pemohon yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap diri pemohon oleh termohon.
Ketujuh, menetapkan uang Rp100 juta rupiah adalah gratifikasi yang harus diserahkan kepada KPK sesuai dengan ketentuan pasal 26 C Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kedelapan, memerintahkan agar sebuah handphone blackberry dengan "memory card" merek sundisk dengab kapasitas 16 GB dan kartu sim Telkomsel dengan nomor 081185499 dikembalikan kepada pemohon.
Kesembilan, merehabilitasi atau memulihkan nama naik pemohon sesuai dengan harkat martabatnya sebagai Ketua DPD RI.
Kesepuluh, memerintahkan pemohon agar dikelurahkan dari tahanan.
Kesebelas, memerintahkan biaya perkara yang ditanggung kepada negara.
Irman Gusman sendiri telah diberhentikan dari jabatan Ketua DPD RI setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus pidana oleh KPK.
Kasus ini diawali dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang terjadi pada Sabtu, 16 September 2016 dini hari terhadap empat orang yaitu Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, istrinya Memi, adik Xaveriandy dan Ketua DPD Irman Gusman di rumah Irman di Jakarta.
Kedatangan Xaveriandy dan Memi adalah untuk memberikan Rp100 juta kepada Irman yang diduga sebagai ucapan terima kasih karena Irman memberikan rekomendasi kepada Bulog agar Xaverius dapat mendapatkan jatah untuk impor tersebut.
Irman Gusman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Xaverius dan Memi disangkakan menyuap Irman dan jaksa Farizal yang menangani perkara dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton dimana Xaverius merupakan terdakwanya.
Uang suap yang diberikan kepada Farizal adalah sebesar Rp365 juta dalam empat kali penyerahan, sebagai imbalannya, Farizal dalam proses persidangan juga bertindak seolah sebagai penasehat hukum Xaverius seperti membuat eksekpsi dan mengatur saksi saksi yang menguntungkan terdakwa. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: