Komisi II bidang ekonomi dan keuangan DPRD Kalimantan Selatan menemui Kementerian Perdagangan Republik Indonesia di Jakarta, Jumat, untuk membicarakan masalah ekspor rotan.
"Kita ingin mengetahui secara pasti latar belakang mengapa Kementerian Perdagangan (Kemendag) melarang ekspor rotan bulat (mentah)," ujar anggota Komisi II DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel) Suripno Sumas sebelum ke kementerian tersebut.
Pasalnya, tutur Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu, dengan larangan ekspor rotan mentah, banyak petani dan pengepul/pedagang komoditas tersebut di Kalsel yang terpukul atau mengalami penderitaan.
Sebagaimana beberapa waktu lalu, mereka yang mengatasnamakan petani pedagang dan industri rotan Kalimantan (Pepirka) menyampaikan keluhan, sekaligus meminta bantuan DPRD Kalsel untuk memfasilitasi penyelesaian larangan ekspor tersebut ke instansi berwenang.
Menindaklanjuti aspirasi Perpika tersebut, Komisi II DPRD Kalsel yang juga membidangi perindustrian, perdagangan, dan pertanian dalam pengertian luas, kata alumnus Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu, menemui Kemendag untuk membicarakan masalah larangan ekspor rotan.
"Kita berharap Kemendag membuka kembali kran ekspor rotan, guna membantu perekonomian petani dan pedang rotan skala kecil. Jangan larangan ekspor rotan tersebut hanya menguntung pengusaha besar," demikian Suripno Sumas.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Komisi II DPRD Kalsel Suwardi Sarlan mengharapkan usaha rotan di provinsi yang terdiri atas 13 kabupaten/kota tersebut berjaya kembali sebagaimana pada era 1970-an atau pada awal 2000-an.
Harapan politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut menjawab Antara Kalsel, sesudah Komisi II DPRD provinsi setempat menerima pengaduan dan keluhan pengurus Pepirka.
Berdasarkan pengaduan atau keluhan Pepirka, tuturnya, usaha rotan dan produk komoditas tersebut di Kalimantan pernah jaya pada awal 2000-an sampai 2011, volume ekspor mencapai 4.500 ton per bulan dengan tujuan Tiongkok dan India.
Tetapi, menurut Pepirka, harga rotan beserta produk komoditas tersebut, belakangan ini anjlok dengan keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 35 tahun 2011 yang berisikan larangan ekspor rotan.
Sebagai contoh rotan jenis 811 hanya sekitar Rp1.500/kilogram itupun dibagi dua antara petani dan buruh. Jika dihitung estimasi penghasilan per hari tidak sampai Rp50.000, sedangkan biaya hidup dan operasional di atas Rp100.000. Oleh sebab itu, Pepirka mengharapkan pencabutan Permendag 35/2011 supaya bisnis rotan dan produknya berjaya kembali sebagaimana era 2000-an sampai 2011.
"Kita juga turut mengharapkan agar pemerintah atau Kemendag mencarikan solusi terbaik bagi permasalahan Pepirka tersebut, supaya usaha mereka terlindungi dan dapat berkembang lebih maju lagi," demikian Suwardi.
Pejabat Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kalsel mengaku Permendag 35/2011 salah satu penyebab anjloknya industri rotan di provinsi yang dulu atau pada 1970-an terkenal dengan industri lampit rotan tersebut.
Oleb sebab itu, Disperindag sependapat dan mendukung upaya pencabutan Permendag 35/2011 agar pelaku usaha rotan di Kalsel kembali bergairah, dan pada gilirannya akan menumbuhkembangkan ekonomi kerakyatan, terutama petani rotan.
Pasalnya Disperindag Kalsel tidak bisa berbuat banyak terhadap masalah larangan ekspor rotan dan produk rotan tersebut, karena aturan itu merupakan kewenangan atau kebijakan pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendag.
Kebijakan Kemendag melarang ekspor rotan mentah tersebut untuk mendukung hilirisasi industri dalam negeri guna mengejar nilai tambah, dengan mengembangkan kreativitas dan desain produk rotan itu. (Ant).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Leli Nurhidayah