Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan masa tenggang pemberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek harusnya enam bulan.
"Tiga bulan itu tidak realistis. Mestinya yang wajar enam bulan," kata Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri saat dihubungi di Jakarta, Senin (3/4/2017).
Menurut Febri, berbagai keterbatasan yang saat ini dimiliki pemerintah untuk menerapkan aturan baru itu membuat masa tenggang yang ditetapkan terlampau singkat.
Ia mengingatkan pemerintah agar bijaksana menyikapi berbagai kekurangan yang ada. Salah satunya keterbatasan fasilitas dan tempat pengujian kendaraan secara berkala (uji kir) yang menjadi salah satu kewajiban.
Sejak 1 April 2017 pemerintah menerapkan revisi Permenhub Nomor 32. Pemerintah menetapkan masa tenggang pemberlakuan aturan ini selama tiga bulan.
Artinya, selama tiga bulan ke depan aturan baru tersebut belum akan berlaku sehingga belum ada sanksi bagi mereka yang melanggar.
Empat dari 11 butir revisi dalam peraturan tersebut menjadi polemik, yakni kewajiban uji kir, pengalihan kepemilikan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) taksi online dari pribadi menjadi badan hukum, penetapan tarif, serta penetapan kuota taksi online.
Febri menjelaskan, berbagai keterbatasan tersebut membuka peluang munculnya pungutan liar (pungli) dan praktik suap.
"Umumnya, pungli lahir dari buruknya fasilitas pelayanan publik serta rumitnya birokrasi," kata dia.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan tiga rekomendasi terkait penerapan Permenhub 32.
Pertama, KPPU meminta pemerintah menghapus batas bawah tarif yang selama ini diberlakukan untuk taksi konvensional dan diganti pemerintah hanya mengatur batas atas tarif.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf menjelaskan penetapan tarif batas bawah akan berdampak pada inefisiensi industri taksi yang bermuara pada mahalnya tarif bagi konsumen, menghambat inovasi untuk meningkatkan efisiensi, dan menjadi sumber inflasi.
Sebaliknya, regulasi batas atas dapat menjadi pelindung konsumen dari eksploitasi pelaku usaha taksi yang strukturnya oligopoli, jelas dia.
Kedua, KPPU menyarankan pemerintah tidak mengatur kuota taksi konvensional maupun online di suatu daerah dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.
Dengan demikian, setiap pelaku usaha akan menyesuaikan jumlah armada sesuai kebutuhan konsumen. Pengaturan oleh pemerintah akan mengurangi persaingan yang merugikan konsumen.
Selain itu, diperlukan sebuah standar pelayanan minimal (SPM). Pemerintah harus mengawasi secara ketat pemegang lisensi jasa angkutan taksi dan tegas memberikan sanksi pencabutan izin operasi jika melanggar regulasi.
Pengawasan super ketat itu akan menjaga kinerja operator taksi konvensional dan online untuk memenuhi standar pelayanan minimal.
Ketiga, komisi menyarankan pemerintah menghapus kebijakan STNK taksi online atas nama badan hukum.
Menurut Syarkawi, pemerintah sebaiknya mengembangkan regulasi sistem taksi online dengan badan hukum koperasi yang asetnya dimiliki anggota. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: