Peran kaum perempuan dalam ketahanan pangan meski terlibat aktif dan berkontribusi besar dalam produksi maupun distribusi bahan pangan ternyata masih terabaikan dan belum mendapatkan perhatian maupun penghargaan secara wajar.
Selain masih terabaikan, perlakuan diskriminatif juga sering dialami kaum perempuan pekerja atau buruh di sektor produksi pangan itu, terungkap dalam Diskusi "Perempuan, Keadilan Pangan, dan Media", diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandalampung bekerjasama dengan Oxfam dan Australian Aid, di Bandarlampung, Selasa.
Diskusi itu menghadirkan narasumber dari Solidaritas Perempuan (SP) Sebay Lampung Umi Laila, Kepala Bidang Hortikultura Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung Ir Eko Dyah MSc, aktivis Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) dan peraih Female Food Hero Erna Leka, dengan fasilitator dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung Dr Wuryaningsih Dwi Sayekti.
Erna Leka yang kini aktif terlibat mengelola areal tambak udang di Dipasena, Kabupaten Tulangbawang menuturkan sebelumnya peranan kaum perempuan dalam budi daya udang saat masih bermitra dengan perusahaan inti nyaris tak diakui karena hanya bersedia bermitra dan menjalin kerja sama dengan petambak laki-laki.
Bila ada petambak laki-laki beristri yang meninggal dunia, selanjutnya pengelolaan tambak akan diserahkan kepada ahli waris atau kalau tak ada, istrinya akan dipulangkan.
Namun belakangan setelah terjadi konflik, dan para petambak yang masih bertahan mengelola secara mandiri areal pertambakan mereka, perlahan peran perempuan di pertambakan ini mulai diakui.
"Kini kami sudah bisa mengorganisir diri dan terlibat aktif dalam pengelolaan tambak, baik bersama suami maupun sendiri," katanya pula.
Petambak mandiri yang masih bertahan, menurutnya, sebanyak 6.500 petambak, dari sebelumnya mencapai 9.000 petambak pada areal seluas 16.500 ha.
Sedangkan menurut Umi Laila dari Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, saat mendampingi perempuan nelayan di sejumlah tempat di kawasan pesisir Kota Bandarlampung mendapati adanya perlakuan diskriminatif dialami perempuan setempat yang menjadi buruh pembuatan ikan asin.
Selain mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan buruh laki-laki, buruh perempuan juga menerima perlakuan berbeda atas makanan yang dikonsumsinya.
"Buruh perempuan mendapat makanan nasi dengan lauk tempe atau tahu, tapi buruh laki-laki dengan lauk daging ayam atau daging sapi," kata Umi pula.
Selain mendampingi perempuan nelayan, Solidaritas Perempuan Sebay Lampung juga mendampingi perempuan para buruh migran di sejumlah kawasan di Kabupaten Lampung Timur.
Menurut Ir Dyah Eko MSc, Kabid Hortikultura Dinas Tanaman Pangan Lampung, sebenarnya peranan perempuan dalam ketahanan pangan, baik produksi, distribusi maupun konsumsi pangan cukup signifikan dan tak bisa diabaikan begitu saja.
Karena itu, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung dengan dukungan Kementerian Pertanian maupun Pemprov Lampung bekerjasama dengan dinas terkait di seluruh kabupaten dan kota Provinsi Lampung untuk lebih memberdayakan potensi dan peranan kaum perempuan dalam ketahanan pangan itu.
Keterlibatan kaum perempuan khususnya melalui kelompok wanita tani (KWT) maupun organisasi perempuan lainnya diajak untuk menjadi penopang ketahanan pangan, seperti terlibat dalam Gerakan Tanam Cabai maupun bumbu dan sayuran lainnya.
"Kami mendorong kaum perempuan dapat memanfaatkan lahan pekarangan yang dimiliki untuk pengembangan cabai, bawang merah, tomat maupun sayur-mayur lainnya," katanya.
Ketua AJI Bandarlampung Padli Ramdan, didampingi panitia diskusi keadilan pangan itu, Vina Oktavia dan Eni Muslihah, menjelaskan sebenarnya perempuan punya peran penting menjaga kemandirian pangan. Mereka tidak hanya menjaga agar kebutuhan pangan terdistribusi sempurna, tapi juga terproduksi dan mencukupi jumlahnya dengan kualitas yang baik.
"Pada banyak sektor seperti pertanian, perikanan bahkan industri, perempuan menjadi tulang punggung agar kemandirian pangan terwujud. Tapi, keberadaan mereka sering pula disepelekan dengan upah rendah dan hak-hak yang tidak terpenuhi," katanya lagi.
Menurutnya lagi, isu tentang kerja keras perempuan membangun kemandirian pangan, dan memperjuangkan hak-haknya belum menjadi perhatian utama. Tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga media massa khususnya di Lampung.
Media massa masih cenderung menempatkan perempuan sebagai objek pemberitaan dengan mencari sisi sensasional belaka, katanya lagi. Pengabaian hak-hak perempuan di sektor ekonomi, politik, masih banyak diabaikan karena dianggap bukan isu seksi. Terutama perempuan dalam perannya sebagai produsen pangan, masih jauh dari perhatian media, kata Padli pula.
"Diskusi ini diikuti jurnalis dan NGO atau LSM sebagai peserta agar kontribusi jurnalis lebih maksimal dalam pemperjuangkan hak perempuan," katanya.
Menurutnya, dari masalah pangan sendiri, sebagian besar jurnalis masih berkutat pada isu komoditas pangan, seperti ketersediaan, harga, dan akses.?Isu di balik itu, seperti alih fungsi lahan, hak perempuan sebagai produsen pangan, diversifikasi pangan, maupun kebijakan pangan yang merugikan masyarakat, belum banyak tersentuh oleh media massa kebanyakan, ujar Padli Ramdan. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: