Sengketa usaha panas bumi yang melibatkan BUMN PT Geo Dipa Energi (Persero) dengan swasta PT Bumigas Energi hingga saat ini mendapat perhatian dari Forum Peduli Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Romadhon Jasn sebagai Perwakilan FP BUMN, mendukung pemerintah untuk menyelesaikan sengketa. "Pemerintah harus bantu menyelesaikan masalah sengketa mengenai panas bumi, dan jangan merugikan keuangan negara atau pun aset BUMN," kata Romadhon di Jakarta, Selasa (16/5/2017).
Menurut Romadhon, berkepanjangannya sengketa yang terjadi antara Bumigas dengan Geo Dipa telah menghambat program listrik pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Sengketa yang terjadi selama ini telah menghambat berjalannya proyek pengembangan PLTP Dieng dan PLTP Patuha, yang merupakan bagian dari program percepatan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II," katanya.
Padahal, menurut Romadhon, proyek-proyek yang dikerjakan BUMN ini merupakan bagian dari program Infrastruktur Kelistrikan 35.000 MW. Bukan itu saja, proyek ini juga merupakan aset negara, sehingga tindakan yang dilakukan swasta Bumigas terhadap BUMN ini berpotensi merugikan keuangan negara.
Sebelumnya, kuasa hukum Geo Dipa Heru Mardijarto SH MBA menjelaskan bahwa sengketa berawal dari Bumigas yang tidak dapat memenuhi ketentuan/ kewajiban kontrak atau dengan kata lain Bumigas cidera janji.
Karena cidera janji, maka Geo Dipa menerbitkan 5 kali warning letter dan ditutup dengan Notice of Default, sebagaimana disampaikan oleh kuasa hukum Geo Dipa.
?Kondisi cidera janji/wanprestasi Bumigas juga sudah dinyatakan dalam putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Juli 2008 yang bersifat final and binding dan karenanya berakibat kontrak berakhir/terminasi,? kata Heru.
Namun demikian Bumigas mempersoalkan keputusan BANI tersebut, dan hingga saat ini proses hukum terus berlanjut.
Heru juga menyoroti adanya beberapa kejanggalan yang dilakukan selama proses hukum terhadap sengketa ini berlangsung.
Pertama, yaitu terhadap putusan BANI tersebut, Bumigas melakukan upaya hukum dengan mengajukan permohonan pembatalan terhadap Putusan BANI kepada PN Jaksel. Namun, permohonan tersebut didaftarkan pada tanggal 19 September 2008 yaitu 36 hari setelah putusan BANI didaftarkan.
"Padahal Pasal 71 UU 30/1999 menyebutkan permohonan pembatalan harus diajukan paling lambat 30 hari sejak putusan Arbitrase/BANI didaftarkan," katanya.
Kedua, saat itu Bumigas mengajukan permohonan pembatalan Putusan BANI dengan tanpa adanya Putusan Pidana sebagai dasar permohonan sebagaimana ketentuan penjelasan pasal 72 UU No.30/1999. Bahkan sampai dengan saat ini Putusan Pengadilan tersebut tidak pernah ada.
Ketiga, permohonan Pembatalan Putusan BANI mengajukan sebanyak 2 kali, yaitu di PN Jakarta Selatan tahun 2008 yang telah MA pada tahun 2010 dan di PN Jakarta Selatan pada tahun 2012 yang telah di putus pada tahun 2015. Yang mana Putusan yang pertama dan Putusan kedua berbeda. Ditambah lagi kejanggalan pertama tidak menjadi pertimbangan Putusan.
Ke empat, Putusan MA yang kontroversial tidak mengatur akibat pembatalan Putusan BANI sebagaimana ketentuan Pasal 72 ayat 2 UU No 30/1999.
Demikianlah, kejanggalan-kejanggalan hukum yang terjadi selama ini, sehingga kuasa hukum Geo Dipa menyimpulkan ada upaya kriminalisasi yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Vicky Fadil