Greenpeace Indonesia menginginkan Presiden Joko Widodo dapat mempertegas sikapnya untuk memperkuat konsensus bersama para pemimpin global serta mempertegas komitmen nasional Indonesia untuk mengatasi fenomena perubahan iklim.
"Kami sangat yakin bahwa memperkuat kerja sama global, regional dan juga antar daerah merupakan cara terbaik untuk membela kepentingan warga Indonesia dalam konteks mengatasi akar masalah perubahan iklim ini," kata Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam rilis, Senin (26/6/2017).
Menurut Leonard Simanjuntak, hal tersebut dapat dilakukan pemerintah Republik Indonesia, antara lain dengan meperpanjang dan memperkuat moratorium ijin konsesi di kawasan hutan dan lahan gambut, memperkuat moratorium ekspansi perkebunan sawit, menolak pembahasan RUU Perkelapasawitan.
Selain itu, ujar dia, pemerintah juga dinilai perlu menghasilkan kebijakan-kebijakan kongkrit, termasuk dalam bentuk paket ekonomi, seperti untuk pengembangan secara masif energi baru dan terbarukan menghentikan ekspansi penggunaan batubara dalam program elektrifikasi 35.000 megawatt (MW).
"Tegaskan kembali komitmen Indonesia untuk dengan cepat mengimplementasikan Perjanjian Paris dan sasaran-sasaran Agenda 2030, yang seluruhnya merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah konflik, maupun ancaman-ancaman keamanan lainnya dan juga terjadinya migrasi secara paksa," katanya.
Ia juga menginginkan pemerintah menyambut dan mendukung peluang-peluang ekonomi dan lapangan kerja yang terbuka luas, yang ditawarkan oleh proses dekarbonisasi sistem energi, serta bersedia untuk meninjau kembali dan mempertajam sasaran-sasaran energi bersih dan terbarukan yang ada di Indonesia.
Hal tersebut, lanjutnya, dapat dilakukan berdasarkan terobosan-terobosan dan kecenderungan-kecenderungan terbaru pada ekonomi riil, yang telah memungkinkan transisi yang jauh lebih cepat dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan.
"Ambil langkah-langkah kongkrit untuk memastikan regulasi sektor keuangan juga konsisten dengan sasaran-sasaran Perjanjian Paris, dan memastikan pemenuhan komitmen-komitmen G20 yang disepakati di Pittsburgh pada Oktober 2009, dan menyepakati sebuah kerangka waktu untuk sepenuhnya mengakhiri subsidi bahan bakar fosil pada tahun 2020," paparnya.
Sebagaimana diwartakan, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggencarkan pencarian energi baru terbarukan (EBT) sebagai pengganti fosil. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE), Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengatakan ketersediaan bahan bakar fosil saat ini semakin menipis salah satunya karena tingginya pemakaian BBM untuk transportasi.
"Di sisi lain, bahan bakar merupakan salah satu elemen yang menggerakkan industri transportasi dan industri lainnya. Oleh karena itu, saat ini pemerintah menggencarkan upaya untuk mencari energi baru terbarukan yang diharapkan bisa menggantikan bahan bakar fosil sekaligus mendorong upaya-upaya konservasi energi tanpa menghambat kegiatan industri dan ekonomi," katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan kerja sama internasional mutlak dilaksanakan karena revolusi teknologi energi bersih merupakan keniscayaan global, dan hubungan serta kepercayaan internasional secara timbal balik di bidang energi menjadi hal yang tidak terelakkan lagi bagi keberlangsungan ke depan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi