Peneliti dari Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhani Hasbullah mengenalkan teknologi pengolahan beras ke beras yakni mengolah kualitas beras mutu rendah atau medium menjadi mutu tinggi atau premium.
"Teknologi pengolahan beras ke beras untuk meningkatkan kualitas beras mutu medium menjadi premium dengan tambahan mesin selain yang umum digunakan oleh petani," kata Rokhani di Bogor, Selasa (8/8/2017).
Ia mengatakan, teknologi untuk meningkatkan beras medium ke premium sangat memungkinkan. Dilihat dari sebagian besar petani di Indonesia menggunakan penggilingan padi kecil yang hanya menggunakan dua mesin yakni husker (mesin pengupas) dan polisher (penyosoh).?Teknologi di penggilangan padi skala kecil ini menghasilkan beras yang derajat sosohnya tidak bisa tinggi, sehingga beras putih bening tidak akan didapat. Jadi beras tersebut masuk mutu rendah.
"Disini peluang pasar bagi pelaku bisnis supaya meningkatkan kualitas beras menjadi berkualitas," katanya.
Rokhani menjelaskan, kini sudah berkembang industri 'rice to rice' processing (R2RP) atau pengolaha beras ke beras, yang dapat mengolah beras mutu medium maupun 'off grade' menjadi beras mutu premium.?Untuk mengubah mutu beras tersebut diperlukan tambahan mesin selain husker dan polisher, yaitu mesin destoner (pemisah batu dan gabah), shinning machine atau kibi untuk mengkilap dengan batuan uap (steam), shifter untuk memisahkan menir dan kotoran lainnya, mesin 'color sorter' untuk memisahkan butir merah, butir kuning, dan butir yang mengapur, length grade untuk memisahkan beras kepala.
"Lenght grade ini bisa disetel apakah menginginkan beras kepala 100 persen, 95 persen atau 90 persen sesuai kelas mutu yang diinginkan," katanya.?
Lebih lanjut ia menjelaskan, material 'handling machine' seperti 'bucket elevator' atau belt conveyor untuk aliran bahan dari dan setiap ke setiap unit operasi secara otomatis, 'auto weighing' untuk menimba secara otomatis, 'packing machine' untuk mengemas, 'exhause fan' untuk menyedot debu sehingga ruang produksi bersih dan nyaman.
"Tentunya kalau kita bicara mutu secara fisik acuannya adalah SNI beras yang parameternya adalah kadar air, derajat sosoh, persentase beras kepala, butir menir, butir merah, butir kuning, butir kapur, benda asing dan butir gabah," katanya.
Menurutnya, selain bentuk fisik, mutu juga ditentukan oleh preferensi konsumen yang biasanya lebih ditentukan oleh varietas dan daerah tubuh. Varietas yang sama pun bisa jadi harganya berbeda karena rasanya memang berbeda sesuai daerah tumbuhnya.?Ia mengatakan, dalam dunia bisnis bisa saja dilakukan pencampuran (blending) atau dikenal dengan istilah mengoplos, antar varietas atau varietas yang sama tapi antar daerah tumbuhnya agar diperoleh rasa, aroma dan tekstur nasi yang disukai konsumen namun dapat menekan harga jualnya.
Adanya jaminan mutu melalui penerapan cara berproduksi yang baik seperti 'Good Manufacturing Practices' (GMP) dan pelabelan yang mencantumkan 'nutrition fact' ataupun ijin edar PSAT (Pangan Segar Asal Tumbuhan) dan halal akan meningkatkan kepercayaan konsumen dan konsumen pun mau membelinya dengan harga yang lebih mahal dan tidak merasa dirugikan.
"Namun, sebagai konsumen mestilah cerdas," katanya.
Menurutnya, mengkonsumsi beras premium tidaklah menyehatkan karena dengan derajat sosoh yang tinggi beberapa kandungan gizi pada beras seperti protein, lemak, mineral dan vitamin sudah berkurang sehingga porsi karbohidrat meningkat dan berpotensi terserang penyakit diabetes bagi yang mengkonsumsinya.
"Kalau ingin sehat konsumsilah beras pecah kulit (brown rice) atau beras pratanak (parboiled rice) atau pangan lainnya yang memiliki indeks glikemik rendah," kata Rokhani. (ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: