Ekonomi Indonesia telah memasuki masa anomali. Sejumlah indikator makro ekonomi, seperti nilai tukar rupiah, inflasi, dan pasar modal sedang menunjukkan perbaikan. Di sisi lain, sektor riil, industri dan daya beli lesu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi Januari-Juni 2017 di angka 2,38 % di atas periode sama tahun lalu sebesar 1,06%. Sedangkan di pasar modal, IHSG menguat 9,51% menjadi 5.800 year to date.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani, anomali ekonomi terjadi karena pelemahan daya beli. "Kondisi itu semakin membuat pengusaha tertekan, sebab tingginya biaya produksi yang tak seimbang dengan daya beli masyarakat," ujar Hariyadi, Jakarta, Kamis (10/8/2017).
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyatakan bahwa saat ini pengusaha kesulitan ekspansi karena kebijakan pemerintah hanya sebatas teori. Sejumlah janji insentif dunia usaha juga mandek, termasuk janji harga gas murah bagi industri.
Ekonom INDEF Berly Martawardaya mengatakan bila melihat data pertumbuhan kuartal II yang dikeluarkan BPS, maka bisa dikatakan stabil. Ada beberapa hal yang membuat pertumbuhan konsumsi tidak mengalami peningkatan, seperti THR untuk pegawai negeri yang terlambat, serta penurunan pencairan belanja pemerintah.
"Di sisi lain, dua hal tersebut membuat kuartal ketiga nanti diharapkan dapat lebih optimis mencapai pertumbuhan," terangnya.
Lebih jauh Berly menyebutkan bahwa lambatnya pertumbuhan ini menurut data BPS sudah mulai sejak tahun 2011, hingga kuartal II 2015 dan mulai cenderung stabil diangka 5 poin. Lebih jauh kondisi pertumbuhan yang stabil ini membuat pola konsumsi masyarakat mengalami perubahan. Masyarakat menunda belanja, seperti sandang dan rumah, namun masih belanja untuk keperluan konsumtif seperti handphone dan pergi ke cafe.
Berly melihat kemungkinan adanya peningkatan di kuartal III, asalkan kelompok menengah tidak ditakut-takuti seperti masalah pajak dan lain-lain. Di tempat yang sama, menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Tutum Rahanta saat ini memang benar ada terjadi shifting untuk produk-produk tertentu dan ada memang terjadi pelemahan daya beli.
Mengenai besaran penurunan, Tutum menjelaskan harus dilihat dari dua hal, produk makanan dan non makanan. Senada dengan Berly Martawardaya, Tutum juga mengakui meskipun sudah mulai mengarah ke penurunan, namun sektor makanan dan minuman masih berada disisi positif.
"Meskipun pertumbuhan sebesar 5 koma 1 masih cukup baik untuk retail, namun hal tersebut juga merupakan alarm bagi pemerintah agar lebih serius. Menurut Tutum Rahanta penurunan di kelompok bawah dapat diukur dari mini market, sedangkan kelompok atas agak sedikit melemah akibat menunda pembelian," imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Dina Kusumaningrum
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi