Komisi II DPR mengusulkan dua opsi terkait dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), karena ada beberapa pasal yang dihilangkan dari UU Ormas lama sehingga menimbulkan pertanyaan publik.
"Mana tahu ada rezim yang tidak suka dengan NU karena itu kita cari jalan tengah, misalnya kebiasannya tidak boleh dilakukan perubahan pasal demi pasal dalam Perppu sehingga perlu ada terobosan ketatanegaraan yaitu pertama bisa tidak kita ubah satu atau dua pasal," ungkap Lukman Edy selaku Wakil Ketua Komisi II DPR di Jakarta, Rabu (27/9/2017).
Hal itu dikatakannya dalam diskusi bertajuk "Menakar Kegentingan Makar: Urgensi Perppu nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas", bertempat di Ruang Rapat Fraksi PKB DPR RI di Jakarta, Rabu (27/9/2017).
Lukman mengatakan kalau antara DPR dengan pemerintah sepakat mengubah satu atau dua pasal kemudian hasilnya dibawa ke paripurna dan ditetapkan sebagai UU.
Politisi PKB itu menjelaskan terobosan kedua, satu pekan setelah Perppu disetujui, dilakukan revisi terhadap beberapa pasal seperti yang dilakukan dalam Perppu Pilkada karena ada banyak pasal yang aneh sehingga dilakukan revisi.
"Ini bisa menjadi solusi, kemungkinan kami akan mengambil jalan kedua, sehingga ketentuan tentang pengadilan dan Mahkamah Agung tetap ada di UU Ormas," ujarnya.
Lukman mengatakan di internal Komisi II ada yang pro dan kontra terkait Perppu tersebut sehingga akan mengundang beberapa ormas untuk dimintai pendapatnya seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Menurut dia dalam Perppu itu ada beberapa pasal yang dihilangkan dari UU Ormas yang lama seperti penghapusan fungsi pengadilan dalam membubarkan ormas sehingga dinilai menjadi persoalan bagi masa depan ormas di Indonesia.
"Sudah terjadwalkan apakah menolak atau menerima pada tanggal 24 Oktober 2017," ujarnya.
Jimly Asshiddiqie, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dalam diskusi itu mengatakan dari sisi teori hukum, Perppu merupakan UU darurat karena kegentingan yang memaksa. Namun menurut dia, dalam praktiknya tergantung penilaian subjektif presiden lalu kemudian dinilai objektif DPR.
"Namun jangan terlalu royal, di era Soeharto selama 32 tahun hanya mengeluarkan 8 Perppu. Mudah-mudahan di era Presiden Jokowi tidak banyak membuat Perppu," imbuhnya.
Jimly mempertanyakan mengapa pembubaran ormas yang diatur dalam Perppu Ormas tidak melalui mekanisme pengadilan sehingga kalau Perppu Ormas diterima harus ada perubahan sekaligus.
Menurut Jimly, Perppu Ormas harus disikapi dengan bijak misalnya ketentuan pidana didalamnya harus dikritisi namun sebenarnya perppu tersebut tidak terlalu perlu karena peraturan di UU Ormas yang lama sudah lengkap.
"Namun karena sudah menjadi Perppu dan diuji, maka diterima saja dahulu namun langsung diperbaharui," ujarnya. (HYS/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Hafit Yudi Suprobo