Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bantah Monopoli Bongkar Muat di Pelabuhan Makassar, Ini Penjelasan Pelindo IV

        Bantah Monopoli Bongkar Muat di Pelabuhan Makassar, Ini Penjelasan Pelindo IV Kredit Foto: Antara/Iggoy el Fitra
        Warta Ekonomi, Makassar -
        Manajemen PT Pelindo IV tegas membantah adanya praktik monopoli bongkar muat di Pelabuhan Makassar, seperti yang dituduhkan sejumlah pengguna jasa. Manajemen perusahaan pelat merah itu tetap memberikan opsi bagi kapal untuk melakukan bongkar muat di dermaga lain lingkup Pelabuhan Makassar. Adapun kewajiban penggunaan peralatan PT Pelindo termaktub dalam aturan, dimana pihaknya juga membayar konsensi kepada pemerintah.
        General Manager PT Pelindo IV Cabang Terminal Peti Kemas, Yosef Benny Rohy, mengungkapkan sama sekali tidak ada praktik monopoli dalam aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Makassar. Penerapan surat edaran dari Otoritas Pelabuhan Makassar per 1 Oktober tentang kewajiban penggunaan peralatan PT Pelindo IV semata untuk mendongkrak produktivas. Terlebih, arus bongkar muat di Pelabuhan Makassar terbilang sangat besar.
        "Tidak ada itu praktik monopoli bongkar muat (di Pelabuhan Makassar). Ya mungkin hanya persoalan miskomunikasi saja. Nah, sekarang ini kita harus berpikir dan bertindak bagaimana caranya meningkatkan produktivitas yang muaranya untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah," kata Yosef, di Makassar, Selasa,?(17/10/2017).
        Menurut Yosef, para pengguna jasa harusnya memahami perbedaan antara dermaga umum dan terminal. Untuk dermaga umum, pengguna jasa memang diperbolehkan melakukan berbagai aktivitas. Namun, untuk terminal, baik itu terminal peti kemas maupun terminal curah, regulasi mensyaratkan bahwa aktivitas seperti bongkar muat menjadi domain pengelola, dalam hal ini PT Pelindo IV.
        General Manager PT Pelindo IV Cabang Makassar, Aris Tunru, menambahkan peningkatan aktivitas bongkar merujuk pada surat edaran sudah disosialisasikan kepada para pengusaha pemilik barang selama enam bulan hingga satu tahun lamanya. ?Nah, saat ini sudah lebih dari satu tahun sejak sosialisasi, sehingga per 1 Oktober 2017, kami mulai memanfaatkan dan memaksimalkan Dermaga 150 Meter sebagai Terminal Curah Kering," tuturnya.
        Di Terminal Curah Kering, Aris mengungkapkan pihaknya menyiapkan dua unit alat Harbour Mobile Crane (HMC) berkapasitas 10.000 ton per hari. Pemanfaatan HMC itu malah ditujukan untuk beban biaya pengusaha yang kegiatan bongkar muat barangnya, terutama pupuk, kebanyakan berlokasi di Dermaga 150 Meter yang dibangun dengan menelan investasi sebesar Rp123 miliar. Hal itu juga untuk memenuhi target produktivitas yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan RI.
        ?Dengan peningkatan kinerja ini, otomatis mengurangi biaya demorage kapal, sehingga beban pengusaha turut berkurang. Karena waktu bongkar juga menjadi lebih cepat, dari biasanya 10 hari, dengan HMC hanya memakan waktu 5 hari atau berkurang sekira 50 persen," jelas Aris.
        Sebelumnya, Penasehat Lintas Asosiasi Kepelabuhanan Makassar, Sumirlan, menuding kebijakan terbaru itu sangat memberatkan pengguna jasa. Ironisnya, penerapan kebijakan terkesan dipaksakan lantaran tidak terlebih dulu disosialisasikan secara massif. "Kebijakan tersebut jelas sepihak dan terkesan memaksakan. Tidak ada sosialisasi. Kalau dipaksakan bisa saja mematikan pelaku usaha bongkar/muat lokal di Pelabuhan Makassar," keluh dia.
        Menurut Sumirlan, indikasi adanya praktik monopoli dalam kebijakan tersebut lantaran adanya keharusan penggunaan alat milik PT Pelindo IV. Padahal, beberapa pelaku usaha yang kapalnya ingin sandar di Pelabuhan Makassar memiliki alat bongkar muat. Dengan menggunakan alat sendiri tentunya biaya operasional bisa ditekan.?
        Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Pengusaha Niaga Nasional Indonesia (INSA) Makassar, Frans Tangke, mengimbuhkan kebijakan yang mengharuskan penggunaan peralatan crane milik PT Pelindo IV memang memberatkan. "Harusnya dipahami bahwa ada pelaku usaha yang juga memiliki alat dengan harga yang lebih terjangkau. Sebaiknya jangan diwajibkan karena itu tidak membuka ruang adanya persaingan usaha yang sehat," pungkas dia.?

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Tri Yari Kurniawan
        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: