Pemerintah perlu merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut karena merugikan masyarakat dan tidak menjamin kepastian bagi investor di bidang perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI).
Pernyataan itu disampaikan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin ketika memberi sambutan pada Focus Group Discussion (FGD) bertema Rekonsiliasi Pemahaman dan Strategi untuk Review dan Implementasi PP 57/2016 jo.PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut di Palembang, belum lama ini.
"Masyarakat tidak diuntungkan dengan regulasi tersebut. Apalagi, jika regulasi dikaitkan dengan berbagai aturan yang memberatkan petani dan pelaku usaha perkebunan dan HTI seperti aturan tinggi muka air 0,4 meter serta pengalihfungsian lahan budidaya menjadi lahan fungsi lindung yang artinya adalah pengurangan wilayah budidaya yang berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat," katanya.
Alex menegaskan?pihaknya juga terus meng-update peta restorasi gambut dengan melakukan overlay?pemetaan restorasi kawasan gambut dengan peta yang dimiliki pihak perkebunan dan HTI. Hal itu, katanya, karena peta indikatif yang dipergunakan Badan Restorasi Gambut (BGR) masih perlu diverifikasi di lapangan.
"Ketidakakuratan peta akan merugikan masyarakat kecil dan perusahaan yang mana apabila sudah masuk dalam peta indikatif restorasi tersebut maka lahan dan kawasan tersebut wajib direstorasi dan dilindungi. Karena itu, perlu pemetaan yang lebih akurat," katanya.
Adapun, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Joni Emirzon mengatakan penerbitan satu regulasi harus mempunyai kajian akademis, menguntungkan semua pihak, cermat, dan tidak bernuansa politis. Hal itu agar regulasi memberi manfaat, keadilan, dan ketertiban bagi semua pihak.
"Lucu jika ada lahan yang bisa diptimalkan untuk kesejahteraan rakyat kemudian dilarang dimanfaatkan karena atas dasar kelestarian seperti masalah di lahan gambut ini," sesalnya.
Dalam menyusun aturan, kata Joni, perlu mengacu pada tiga pilar yakni aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara filosofis, suatu aturan seharusnya mampu memberi bentuk perlindungan hukum kepada semua pihak. Di satu sisi PP memang menjamin perlindungan lingkungan, namun di sisi lain tidak memberi kepastian berusaha bagi masyarakat dan dunia usaha yang hidup di dalamnya.
"Padahal, pengelolaan gambut punya potensi ekonomi tinggi untuk menyejahterakan masyarakat, bagaimana mereka akan memenuhi penghidupannya jika lahan yang bisa mereka manfaatkan dilarang dipakai?" katanya.
Secara aspek yuridis, perlu dinilai apakah ada aturan-aturan yang lebih tinggi seperti UU yang dilanggar. Jika ini terjadi, misalnya PP itu berbenturan dengan UU investasi, aturan ini perlu direvisi. Perubahan peraturan atau bahkan perumusannya harus jelas naskah akademis yang menjadi dasar dari pembuatan peraturan terkait, misalnya dalam penentuan 0,4 meter sebagai batas harus jelas dari mana dasarnya.
"Sedangkan aturan ISPO saja mensyaratkan 0,6-0,8 m. Sepertinya masih terjadi perbedaan persepsi dan tujuan antarlembaga pemerintah seperti KLHK dengan perdagangan dan pertanian, apakah tidak ada komunikasi saat perumusan peraturan tersebut yang mengakomodir masing-masing sektor?" sahutnya.
Ketiga sosiologis yakni apakah masyarakat sudah siap. Kalau kenyataan masyarakat belum siap, ia menyarankan bahwa sebaiknya aturan tersebut tidak perlu dilanjutkan apalagi dipaksakan. Ia menyampaikan data Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa total investasi industri hulu dan hilir usaha kehutanan dan investasi industri hulu dan hilir usaha perkebunan dibiayai oleh pinjaman dalam negeri senilai Rp83,75 triliun dan luar negeri senilai Rp193,57 triliun.
"Bagaimana nasib pembayaran pinjaman ini dengan ketidakpastian iklim investasi dengan adanya PP Gambut ini? Hal ini akan menjadi kredit macet yang mendorong rating investasi ke arah negatif. Masalah lain yang krusial dari PP Gambut ini adalah potensi ribuan PHK tenaga kerja, sektor lain yang hidup dari industri ini akan sangat berdampak besar," paparnya.
Joni juga menilai revisi PP Nomor 57/2016 perlu dilakukan karena tidak mempunyai azas dan tujuan yang jelas.
"Dalam suatu penyelengaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab (good governance) transparansi terkait azas dan tujuan harus diungkapkan secara jelas untuk memberi rasa keadilan, manfaat, dan ketertiban," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: