Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bisnis Basah Dunia Olahraga

        Bisnis Basah Dunia Olahraga Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Dunia olahraga di Indonesia dapat dikatakan satu dekade lalu masih jauh dari dunia bisnis. Sepak bola mampu menarik banyak massa dibanding dengan olahraga lain dan memiliki pangsa pasar yang besar tetapi masih belum mampu berdiri sendiri. Dapat dikatakan, klub-klub sepak bola di Indonesia yang mampu mendanai biaya operasional secara mandiri masih dapat dihitung dengan jari.

        Kondisi ini berbeda dengan negara-negara di Eropa dan Amerika yang sudah mampu menjadikan olahraga sebagai bisnis menjanjikan. Investor-investor dengan kantong tebal berani menggelontorkan dananya ke klub-klub sepak bola maupun olahraga lainnya, seperti basket. Sebut saja nama-nama besar pemilik klub, seperti Roman Abramovic, Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, Nasser Al-Khelaifi, Erick Thohir, hingga Tony Fernandes.

        Indonesia juga tidak mau ketinggalan. Dapat dikatakan, sosok paling dikenal publik saat ini adalah Erick Thohir. Namanya mencuat saat ia memutuskan membeli klub papan atas Italia, yaitu Internazionale Milan dengan kepemilikan saham hingga 70% senilai 230 juta Euro atau setara Rp5,3 triliun pada 2013. Boleh dibilang, ini merupakan nilai terbesar pembelian klub sepak bola yang pernah dilakukan oleh orang Indonesia.

        Erick mengatakan berinvestasi di dunia olahraga bukan sekadar kepentingan bisnis semata. ?Saya jalankan bisnis sesuai passion,? kata Erick yang ternyata seorang penggemar Inter Milan saat diwawancarai oleh Warta Ekonomi usai pertemuan dengan pengurus cabang olahraga di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Rabu (25/7/2017) malam.

        Nama Erick sebagai pemilik saham tidak hanya sampai di situ, ia juga membeli klub sepak bola asal Amerika Serikat, DC United, pada 2016. Ia bersama rekan bisnisnya, Jason Leviene, pebisnis olahraga asal Amerika Serikat, menjadi pemegang saham klub liga Inggris sebesar 40%. Jason juga merupakan pemegang saham klub sepak bola liga Inggris, Swansea City A.F.C.

        Di bawah tangan dingin Erick, klub-klub olahraga yang dipegang mampu menjadi tim yang kompetitif, tidak hanya dari sisi prestasi, tetapi juga finansial. Erick mengatakan berbisnis olahraga harus menjadikan klub menjadi sebuah produk yang memiliki nilai jual.

        Erick menceritakan bagaimana caranya menyulap DC United, klub sepak bola Amerika Serikat itu menjadi sebuah klub yang modern. ?Misalnya, DC United secara produk adanya di Washington DC. Sepak bola sedang naik di sana. Secara produk, dia juga punya merek yang cukup bagus, empat kali juara liga. Tapi, produk ini bisa menjadi tua. Nah, sekarang bagaimana caranya untuk dimudakan? Salah satunya kami ganti logo,? kata Erick.

        Metamorfosis DC United di bawah kepemimpinan Erick dapat dikatakan menuju arah positif. Saat ini, klub tersebut sedang membangun stadion senilai Rp6 triliun. Menurutnya, stadion tersebut semakin meningkatkan nilai jual klub. Ia juga mengeklaim laporan keuangan DC United mampu mencatatkan profit.

        Tim sepakbola modern seperti di Eropa memang sudah mampu mengemas olahraga menjadi industri yang stabil. Inter Milan, misalnya. Mengutip laporan tahunan Deloitte Football Money League dari situs Nezurialle, Inter Milan mampu mencatatkan keuntungan sebesar 179,3 juta euro atau setara Rp2,5 triliun pada musim 2015/2016. Jumlah tersebut meningkat dari musim sebelumnya 2014/2015 yang tercatat 164,8 juta euro atau Rp2,3 triliun. Pemasukan Inter Milan bersumber dari penjualan tiket, hak siar laga, penjualan suvenir, iklan, dan sponsor. Hak siar menjadi penyumbang terbesar klub yang bermarkas di Kota Milan tersebut. Inter Milan mampu meraup keuntungan pendapatannya 55% dari hak siar. Tercatat keuntungan hak siar Inter Milan mencapai 98,6 juta euro atau Rp1,4 triliun.

        Kemudian, penyumbang kedua terbesar Inter adalah komersial dengan nilai 54,9 juta euro atau Rp783 miliar. Lalu, pendapatan terbesar ketiga bersumber dari tiket, penjualan souvenir, dan lainnya saat pertandingan mencapai 25,7 juta atau Rp366 miliar.

        Erick mengatakan untuk menjadikan dunia olahraga Indonesia menjadi sebuah bisnis bukan hal mudah. Hal utama adalah harus memiliki kepiawaian dalam memoles citra klub sebagai brand yang kuat di mata pecintanya dan calon sponsor. Di sisi lain, agar pengelolaan klub berjalan dengan rapi, di belakang layar ada tim manajemen yang solid.

        Pada tataran yang lebih luas dari sekadar mengurusi klub olahraga profesional, Erick Thohir menilai agar sebuah olahraga bisa maju di suatu negara memang dibutuhkan syarat mutlak berupa tingkat GDP (gross national product) harus di level US$12.000 per kapita. Kalau angka GDP Indonesia sudah sampai di tingkat itu, barulah bisnis olahraga bisa berkembang. Mungkin ini pula yang menjadi pertimbangan Erick mengapa ia belum sepenuhnya menggarap klub bola profesional di Liga Indonesia, meski ia ada saham minoritas di Persib Bandung.

        ?Saat ini, Indonesia masih memikirkan target sandang, pangan, papan. Sedangkan, entertainment-nya belum,? kata Erick. ?Nah, manakala GDP Indonesia sudah menyentuh level itu, olahraga dipastikan bakal menjadi ladang bisnis yang mendulang untung.? Ia optimistis dunia olahraga Indonesia berpotensi menjadi industri yang kondusif ke depannya asal pengelolaan kompetisi dan transparansi anggaran lebih ditingkatkan agar menarik bagi investor. Apabila penyelenggaraan liga bisa meledak, efeknya akan sangat dahsyat. Sudah sepantasanyalah Liga Indonesia menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dan tentunya menguntungkan.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Moch Januar Rizki
        Editor: Ratih Rahayu

        Bagikan Artikel: