Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Memoles Emas Antam Berkilau Kembali

        Memoles Emas Antam Berkilau Kembali Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sejak lima ribu tahun silam, emas sudah menjadi perburuan umat manusia. Emas dipakai sebagai alat pembayaran dan perdagangan yang paling liquid. Tidaklah heran bila di era prasejarah sampai postmodern saat ini, emas tetap memainkan peran penting, baik sebagai alat investasi (emas batangan), perhiasan, hingga cadangan devisa. Kaidah teori ekonomi klasik mensyaratkan setiap penerbitan mata uang disertai dengan penyediaan emas sebagai cadangan devisa (cadev). Sayangnya, sejak 1971, Amerika Serikat mulai meninggalkan pakem tersebut, dolar AS dicetak hanya berlandasarkan kepercayaan saja (fiat). Namun begitu, emas tetap menjadi perburuan bank sentral di seantero jagad untuk cadev.

        Data terkini dari World Gold Council (WGC) melaporkan bahwa permintaan emas kuartal kedua 2017 berada di angka 953,4 ton, turun 10% dibanding pada 2016. Pada periode ini, sejumlah bank sentral di dunia memangkas belanja emas mereka menjadi 176,7 ton, susut 3% dibanding periode yang sama tahun 2016. Dari gambaran ini terlihat betapa bank sentral di seluruh dunia pun masih berburu emas sebagai cadangan devisa mereka. Hal ini dilakukan untuk melawan potensi inflasi akibat pencetakan uang yang berlebih dari kebutuhan pasar. Jadi, boleh dibilang emas masih menjadi ladang perburuan manusia sampai detik ini.

        Di Indonesia, salah satu produsen emas lokal di luar PT Freeport Indonesia ialah PT Aneka Tambang, Tbk (Persero). Perusahaan yang berstatus badan usaha milik negara (BUMN) yang sudah melepas saham di lantai Bursa Efek Indonesia (BEI) sebesar 35% ini merupakan produsen emas terbesar di Asia Tenggara. Di dalam negeri, produk emas Antam sudah bukan barang asing bagi konsumen. Sekitar 74% produksi Antam berupa emas dan perak, 22% produksi feronikel, dan 4% bauksit, alumina, batu bara, serta nikel ore. Di luar itu, perusahaan juga melayani precious metals processing services. Pasar ekspor hasil tambang Antam mengalir ke Korea Selatan, Cina, dan India.

        Saat ini, Antam memiliki empat unit bisnis utama, yakni Unit Bisnis Pertambangan (UBP) Nikel Sulawesi Tenggara, UBP Nikel Maluku Utara, UBP Emas Pongkor, serta Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian (UBPP) Logam Mulia. Untuk mendukung kegiatan eksplorasi, Antam memiliki Unit Geomin. Perusahaan juga memiliki 12 anak usaha, dua belas entitas anak baik dengan kepemilikan langsung dan tidak langsung, satu pengendalian bersama entitas, dan tiga cucu perusahaan. Perusahaan yang mulai beroperasi pada 1968 ini merupakan hasil leburan beberapa perusahaan tambang, seperti Perusahaan Negara Tambang Bauksit Indonesia, Perusahaan Negara Tambang Emas Tjikotok, Perusahaan Negara Logam Mulia, PT Nickel Indonesia, Proyek Intan, dan Proyek Bapetamb.

        Sebagai pemain lama di bisnis tambang, sudah tentu Antam sangat hafal denyut nadi di bisnis ini yang penuh dengan risiko ini. Daftar risikonya panjang sekali kalau dipaparkan. Misalnya, main di bisnis tambang masuk kategori industri padat modal dengan durasi proyek yang lama, sebaran bahan galian terpencar sehingga hal ini memiliki risiko operasi yang besar. Untuk membangun pabrik pengolahan tambang mineral di Halmahera, Maluku melalui PT Nusa Halmahera Mineral, Antam kudu meminta bantuan pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PNM) senilai Rp3,5 triliun. Belum lagi, bisnis tambang itu terbilang sensitif terhadap siklus bisnis dan fluktuasi harga komoditas yang terkadang unpredictable, serta potensi risiko selisih nilai tukar. Semua itu belum memperhitungkan biaya pada pos perizinan, eksplorasi, konstruksi tambang, biaya SDM, dan masalah lingkungan.

        Chief Executive Officer (CEO) PT Antam, Arie Prabowo Ariotedjo, sudah pernah merasakan gebukan salah satu risiko itu, yakni risiko politik perbahan kebijakan pemerintah. Meski Antam berstatus BUMN, tetap saja harus tunduk pada aturan yang berlaku. Pada 2014 keluar larangan ekspor material tambang, pendapatan perusahaan langsung terpukul hebat. Pasalnya, ketika itu perusahaan memang belum siap untuk membangun pabrik smelter. Dalam kondisi terpukul kerugian, perusahaan mau tidak mau tetap?harus membangun pabrik smelter yang menelan biaya besar. Memang tertulis bahwa jika pabrik smelter ini jadi, pendapatan perusahaan akan ikut terdongkrak. Namun, terkadang mesti ekstra hati-hati dalam menentukan patokan harga jual yang dipakai untuk menghitung titik balik investasi. Misalnya dipatok US$5, tapi ketika pabrik rampung, harga US$3, jelas rugi. Begitu sebaliknya, kalau harga di level US$8, modal cepat balik.

        Ambil contoh sepak terjang PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang menggali tambang emas di Batu Hijau, Pulau Sumbawa terpaksa harus hengkang dari Indonesia setelah 30 tahun beroperasi. Anak usaha Newmont Mining Corporation yang berbasis di Colorado, Amerika Serikat ini sudah membaca gelagat prospek bisnis bakal tak secerah semula. Pasalnya, faktor regulasi di Indonesia, yaitu kewajiban mendivestasi 51% saham ke pemerintah RI atau pemain lokal. Itu belum termasuk regulasi terbaru yang mengharuskan pemain tambang membangun pabrik smelter atau pemurnian hasil tambang. Jika tidak ikut aturan main itu, perusahaan tidak boleh ekspor hasil tambang. Setelah dihitung-hitung, Newmont lebih memilih menutup usaha tambangnya di Indonesia. Sampai saat ini, yang masih berjuang adalah PT Freeport Indonesia.?

        Sebagai pemain lokal dan berstatus BUMN tentu langkah yang ditempuh PT Newmont Nusa Tenggara tidak bisa ditiru Antam. Dengan berstatus BUMN, Antam seolah memiliki priviledge tersendiri. Semisal, kalau memang tidak lagi mempunyai modal untuk mengembangkan usaha padahal ada potensi besar, pilihannya tinggal berbicara kepada pemegang saham yang notabene adalah Pemerintah RI. Ketika membangun PT Nusa Halmahera Mineral, Antam mendapat PMN sebesar Rp3,5 triliun. Status kinerja keuangan Antam memang sedang kurang moncer. Maklum, angka liabilitas sebesar Rp11,5 triliun pada?2016, sedangkan pendapatan sebelum pajak dan lainnya (EBITDA) Rp986 miliar. Ada rasio 1:12, padahal lazimnya 1:4. Rasio inilah yang mau diturunkan. Pasalnya, Komisi VI DPR RI mendesak Kementerian Keuangan agar BUMN yang merugi dan mendapat PMN diaudit oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK). Di luar Antam, ada enam BUMN yang berstatus rugi dan mendapat PMN.

        Sebagai mantan CEO PT Bukit Asam Tbk yang mampu membukukan laba, mutasi dirinya ke PT Antam merupakan tantangan tersendiri. Berbagai upaya dijalankan agar roda perusahaan tetap bergulir dan tidak masuk dalam daftar BUMN yang terkena cibiran DPR, "Nyusu melulu, tapi nggak gede-gede". Untuk memangkas tingkat kerugian, Antam akan melepas pembangkit listrik PLTU di Pomala, Sulawesi senilai Rp3 triliun. Pembangkit listrik ini didedikasikan untuk menyuplai kebutuhan listrik Pomala Feronikel Plant. PLTU ini yang akan dilepas ke PT Bukit Asam melalui program sinergi BUMN. Divestasi ini sudah cukup untuk memangkas liabilitas. Selain itu, Antam juga bermaksud mencari strategic partner untuk salah satu anak usaha, yakni PT Gag Nikel yang berlokasi di Raja Ampat, Papua Barat yang punya cadangan besar, yakni 180 juta ton. Saat ini, Antam sedang menjajaki calon mitra strategis dari Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Pelepasan sebagian saham tadi akan menambah pundi-pundi.

        Langkah efisiensi lainnya yang disampaikan Arie Prabowo Ariotedjo, Antam akan membenahi anak-anak usaha. Setidaknya ada 12?entitas anak usaha Antam, baik melalui kepemilikan langsung maupun tidak langsung. Rencananya, perusahaan akan melepas (divestasi) anak-anak usaha yang kurang memberi kontribusi ke induk semang. Misalnya, PT Indonesia Chemical Alumina (ICA). Proyek ini sudah dua tahun terakhir membukukan kerugian. Pada 2016, angka kerugian mencapai sekitar US$30 juta. Ini membuat babak belur karena ICA tidak membukukan EBITDA, tapi negatif. Saat ini Antam tengah bernegosiasi dengan pihak Jepang selaku mitra bisnis. Dengan proses restrukturisasi bisnis anak-anak usaha, diharapkan tidak ada lagi subsidi Antam ke anak usaha, tapi justru sebaliknya, Antam mulai menikmati dividen. Momen ini yang dinanti perusahaan. Selain langkah-langkah tersebut, Antam juga mulai mengkreasi langkah sinergi dengan sesama BUMN, seperti PT Pegadaian dan PT Pos Indonesia. Produk emas Antam bisa dibeli di 102 kantor pos di seluruh Indonesia.?

        Antam juga melakukan penambahan gerai emas mereka guna menambah pundi-pundi perusahaan. Kreasi lain ialah memproduksi emas dengan motif batik dan produk perhiasan berbahan baku emas (jewerly). Meski masih didera beban liabilitas, segala upaya dikerahkan Arie Prabowo Ariotedjo agar mesin perusahaan tetap berputar dan dapat mengikis liabilitas dengan langkah-langkah tersebut.

        Ke depannya, dengan kerja sama strategis yang sudah dibangun dengan Newcrest Mining Limited asal Australia dalam menggarap tambang emas dan perak di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, Halmahera, dan Maluku, Arie Prabowo Ariotedjo berkeyakinan Antam bukan lagi pemain tambang terbesar di regional ASEAN, tapi di dunia. Dengan semua pengalaman panjang di bisnis tambang dan eksplorasi sejumlah mineral tambang selain emas dan perak, Antam pun tak ragu-ragu dengan rencana Kementerian BUMN untuk membentuk holding pertambangan dan super holding. Dengan terbentuknya holding dan super holding BUMN, akan terbangun sinergi dalam aliansi kekuatan sesama BUMN untuk menggarap satu proyek pertambangan yang besar, termasuk tambang Grasberg yang kini dikelola PT Freeport Indonesia. ?Kami siap mengelola tambang Freeport apabila hal itu ditugaskan pemerintah,? tandas dia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Heriyanto Lingga
        Editor: Ratih Rahayu

        Bagikan Artikel: