Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah mengaku belum bisa menjelaskan secara detail terkait apakah KPK sudah melakukan penyelidikan soal dugaan korupsi di tubuh PLN dalam kasus mark up proyek pengadaan listrik dengan menyewa 5 kapal Turki. Akibat proyek ini, keuangan negara ?menguap? hingga Rp 130 triliun.
?Kami bisa memberikan keterangan lebih lanjut bila kasusnya masih dalam tahap
penyelidikan,? ujar Febri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Dugaan korupsi besar di tubuh PLN ini mencuat pasca Menteri Keungan Sri Mulyani berteriak soal kondisi keuangan PLN yang merosot tajam, akibat kebijakan pengadaan proyek pembangkit listrik lewat sewa kapal kapal turki, yang dinilai tidak efisien.
Banyak media mengungkap dugaan kebocoran keuangan negara itu yang harus bertanggungjawab Dirut PLN Sofyan Basyir, karena aktor di balik sewa kapal-kapal Turki yang punya reputasi buruk secara internasional.
Saat ditanya apakah Dirut PLN Sofyan Basir sudah diperiksa KPK, Febri menyatakan, bahwa saat ini kasus dugaan korupsi di tubuh PLN belum masuk penyelidikan. ?Belum masuk penyelidikan,? tegas Febri.
Sebelumnya, LSM Jaringan Milineal Anti Korupsi (JMAK) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan korupsi di tubuh PT PLN (Persero), karena berakibat kerugiaan negara tidak kecil.
?Dugaan korupsi itu terjadi sejak Dirut PT PLN Sofyan Basyir menetapkan kontrak proyek PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) menggunakan 5 kapal pembangkit listrik terapung milik perusahaan asal Turki, Kapowership Zeynep Sultan. Kontrak sejak 2015 berlangsung lima tahun sampai 2020,? ungkap Koordinator JMAK, Mochammad Afandi saat JMAK melancarkan aksi unjuk rasa dan melaporkan dugaan korupsi PLN di Gedung KPK, 26 Nopember 2017 lalu.
Pembangkit listrik Kapal Turki itu kini dioperasioalkan di laut lima provinsi, yaitu Waai Maluku Tengah (kapasitas 120 megawatt), Sumatera Utara (250 megawatt), Sulawesi Selatan (200 megawatt), Kalimantan Tengah (200 megawatt), Sulawesi bagian Utara (120 megawatt).
JMAK mengungkapkan dugaan korupsi besar itu karena PT PLN (Persero) memaksakan pengadaan listrik dengan sewa kapal Turki, sehingga terjadi pemborosan per unit mencapai Rp 7,9 triliun dibanding PLTD darat. Pemborosan lain diduga terjadi mark up, faktanya bahan bakar yang digunakan selisih Rp 450 per kwh. kalau pakai bahan bakar
diesel darat Rp 400 per kwhr, untuk kapal Turki angkanya dua kali lipat menjadi Rp885.
Biaya BBM diduga terjadi mark up. Per tahun untuk kebutuhan maximum 0,024 dg kwh 14 juta liter, seharusnya kilo kwh nya 15 jt liter, maka total menghabiskan 41,64 juta liter. Faktanya, laporan keuangan Tahun 2016 tertulis angka pemakaian BBM 42 juta liter. Kalau harga BBM Rp 6.780 per liter, dalam laporan keuangan muncullah biaya menguap Rp 759 milyar per 1 unit kapal dalam setahun.
?Kejanggalan lain, sewa kapal Turkir sengaja dipaksakan karena awalnya berdalih menggunakan bahan bakar gas, tapi faktanya gas tidak ada dan digantikan BBM impor. Ini pun diduga banyak permainan broker dan tindakan koruptif,? ungkap koordinator JMAK.
Dugaan koruptif PT PLN, kata dia, karena adanya pemborosan biaya BBM impor untuk bahan pembangkit kapal Turki, jika dibanding diesel darat yang pakai batubara, kerugiaan Negara mencapai Rp 75 triliun.
Keputusan Dirut PLN menyewa 5 kapal pembangkit listrik Turki, disebutkan, sangat janggal. PLN memaksakan MPVV (Marine Vessel Power Plant) Zyenep Sultan sebagai pemenang tender pada 2015. Lelang tender saat itu diikuti 29 perusahaan.
?Padahal, Zeynep Turki punya rekam jejak buruk akibat proyek serupa dengan Lebanon, Ghana, berbuntut masalah. Tindakan diduga koruptif lain dari PLN era Dirut Basyir adalah kebijakan menunda proyek kabel laut HVDC Sumatera ? Jawa dan keluar pembangkit yang berlokasi di Sumatetra yakni PLTU Mulut Tambang Sumsel 8,9 dan 10,? katanya.
?Proyek ini seharusnya masuk di system Jawa ? Bali, tapi diundur ke Syestem Sumatera dan menjadi power sharing ke system Jawa dengan pembangkit berlokasi di Jawa 7 dan 8. Akibat perubahan ini berpotensi menimbulkan kerugian Negara sampai Rp 18,7 triliun,? jelasnya.
JMAK juga meminta KPK agar mencegah potensi koruptif lebih besar akibat Dirut PT PLN membatalkan LOAN dengan bunga rendah dari Jepang terkait proyek pembangkit listrik System Jawa Bali, diganti pinjaman kredit komersial.?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: