Mimpi pemerintah untuk bisa mencapai swasembada tiga komoditas utama tanaman pangan yakni padi, jagung, dan kedelai (Pajale), diyakini mustahil tercapai. Lahan yang terbatas menjadi kendala utama.?
Berdasarkan data dari citra satelit, per 2017 lahan untuk ketiga komoditas tersebut tercatat hanya sekitar 7,7 juta hektare. Angkanya pun cenderung terus menurun dari waktu ke waktu.
"Kalau kita mau berswasembada di tiga komoditas tersebut, lahan 7,7 juta hektare pasti tidak cukup," tutur Guru Besar Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, Rabu (7/2/2018).
Penambahan lahan sawah nyatanya juga sulit dilakukan. Buktinya, kata Dwi, data citra satelit pada 2013 hingga yang terbaru pada 2017 tidak berubah. Kementerian Pertanian sendiri melansir, luasan lahan sawah di Indonesia pada 2009 tercatat sebanyak 6,7 juta. Artinya, hanya ada penambahan 1 juta hektare sawah selama 8 tahun terakhir.?
Menurutnya, harus ada yang diprioritaskan sekaigus dikorbankan apabila pemerintah serius hendak mengejar swasembada. Padi dianggap opsi paling logis sebab merupakan kebutuhan pangan utama di masyarakat Nusantara saat ini. Nilai politisnya pun dianggap sangat besar.?
Berdasarkan data Kementerian Pertanian sendiri, tingkat produktivitas lahan sawah untuk padi, jagung, maupun kedelai hanyalah di kisaran 5 ton per hektare. Kata Dwi, jika memfokuskan hanya kepada padi, sebenarnya angka lahan seluas 7,7 juta hektare, sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan beras Indonesia.?
Hitung-hitungannya, dengan angka produktivitas di kisaran 5 ton per hektare; luasan lahan sawah di Indonesia mampu menghasilkan sekitar 38,5 juta ton padi tiap panenannya. Ia menghitung berdasarkan indeks penanaman (IP) sawah di Indonesia saat ini berada di angka 1,5 tiap tahun. Dengan begitu, tiap tahunnya Indonesia bisa memproduksi 57,8 juta ton padi.?
Pengamat pertanian Khudori mengatakan, dengan mengandalkan luas lahan pajale sebesar 7,7 juta hektare ataupun 8 juta hektare, upaya untuk mencapai swasembada tetap sangatlah berat.
Senada dengan Dwi, ia menyebut apabila tiga komoditas itu berkompetisi di lahan yang sama, ujungnya pasti akan ada komoditas yang luas panennya menurun. "Sangat berat untuk mencapai swasembada. Kalau lahannya cuman segitu, ketika satu komoditas bertambah luas panennya, otomatis akan diikuti dengan penurunan luas panen komoditas yang lain. Itu sudah terjadi puluhan tahun," sebutnya.
Hanya saja, perlu diingat, angka tersebut hanya bisa diperoleh jika seluruh sawah merupakan lahan penanaman padi, tidak diselingi tanaman lain. Produktivitas tersebut pun jika dalam kondisi normal, tanpa gangguan cuaca yang berarti. Lalu, besaran 57,8 juta ton juga mengarah pada padi panen, bukan berupa beras.?
Jika dikonversi menjadi beras, tentu beratnya akan menyusut. Untuk diketahui, dari padi menjadi beras, beratnya menysut menjadi hanya 62,8%. Jadi, jika ada besaran 57,8 juta ton padi maka hanya menjadi 36,29 juta ton beras.?
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi (Kapusdatin) Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi sebaliknya menyatakan, hingga saat ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) luas lahan pertanian di Indonesia mencapai sekitar 8 juta hektare yang tersebar dari Aceh hingga Papua.
"Data BPS sekitar 8 juta hektare lahan persawahan. Ini masih dalam proses penghitungan kembali," ujarnya, di kesempatan terpisah.?
Dituturkannya, penghitungan kembali lahan tersebut saat ini sedang ditangani oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) yang dilakukan di 17 provinsi. Ia menilai selisih perhitungan luas lahan yang dilakukan oleh Intstitut Pertanian Bogor (IPB) adalah hal yang wajar, terlebih selisih angkanya tidak terlalu signifikan.
"Yah memang ada beberapa yang menyebut sekitar 7,7 juta, ada yang bilang 7,8 juta, ada yang bilang 8 juta. Sekarang itu posisinya lagi di audit lahan dari BIG jadi kami masih menunggu hasil akhirnya," jelas Suwandi.
Terkait adanya penambahan lahan pertanian baru sebagaimana kebijakan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Suwandi mengatakan masih dalam pengembangan di sejumlah tempat. Berdasarkan informasi, akan ada sekitar 200 ribu hektare lahan pertanian yang tersebar di beberapa provinsi.
"Iya itu cetak sawah sekitar 3 tahun terakhir itu ada 200 ribuan hektare di seluruh indonesia," jelasnya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan rata-rata beras di masyarakat mencapai 6,24 kilogram tiap bulan. Dwi menjelaskan, asumsi kasarnya, jika jumlah penduduk Indonesia dihitung sebanyak 250 juta kepala saja, kebutuhan komoditas ini tiap bulannya mencapai 1,56 juta ton. Dengan demikian, kebutuhan beras minimal untuk konsumsi dalam setahun mencapai 18,72 juta ton. Itu baru untuk konsumsi, belum untuk industri komersial.?
Nyatanya saat ini, fokus pemerintah tidak hanya ke padi. Jagung dan kedelai digadang-gadang terus ditingkatkan produksinya hingga ditargetkan bisa mencapai swasembada. Setidaknya, hal tersebut paling terlihat pada komoditas jagung.
Ada pertumbuhan produksi jagung rata-rata 19,39% per tahun dari 2015 sampai 2017. Ppada 2015, angka produksi jagung masih sekitar 19,61 juta ton, naik menjadi 27,95 juta ton pada 2017, berdasarkan prediksi Kementan pada tahun tersebut.?
Tetapi, hal ini justru dipandang sebagai salah satu penyebab menurunnya produksi padi pada 2017. Hal ini dikarenakan?jika salah satu komoditas pangan ini digenjot, yang lain pasti tergerus. "Mengapa kok produksi padi 2017 lebih rendah daripada 2016? Salah satunya karena program swasembada jagung. Digenjot produksi jagung meskipun enggak swasembada juga," ucapnya.?
Herannya, data di situs resmi Kementan menunjukkan, produksi padi Nusantara justru bertumbuh sepanjang tahun lalu mencapai 81,38 juta ton, Angka ini naik 2,56% dibandingkan tahun 2016 kala angkanya bertengger di 79,35 juta ton.
Entah mana yang benar, realitasnya dari pertengahan 2017 harga beras di pasaran mulai melambung. Bulog sebagai stabilitator harga pun tak bisa berbuat banyak. Pasalnya, penyerapan Gabah Kering Panen (GKP) pun tidak mampu mencapai target. Dari rencana bisa menyerap 3,7 juta ton, hanya mampu terealisasi 2,1 juta ton.?
Direktur Komersial Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, tidak optimalnya penyerapan di 2017 disebabkan karena harga pembelian tinggi di lapangan. Sementara itu, Bulog hanya mampu membeli sesuai HPP Rp3.750 per kilogram ditambah relaksasi 10%.?
"Bulog kan?enggak mungkin beli terus harga naik, nanti memicu harga tinggi. Nanti pada saat harga tinggi, Bulog kan operasi pasar buat ke konsumen. Jadi, kita harus mengendalikan betul dari sisi hilirnya," ucapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah