Kalangan perempuan sependapat agar pemerintah menunda kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) mengingat sebagai ibu rumah tangga mereka sangat merasakan dampak beratnya kebijakan tersebut dalam rangka menopang ekonomi dalam kehidupan berumah tangga.
Founder HCAUS (Human Capital for Us Community)?Mutia Sari Syamsul mengingatkan tarif listrik saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok primer, sama pentingnya dengan kebutuhan pulsa telepon dan bahan pangan. Kalau sampai naik, dampaknya kebutuhan lain akan ikut naik.
"Pastinya transportasi bakal naik angkot, ojek, bus umum dan kereta api. Begitu juga kebutuhan utama lainnya seperti pakaian seragam, alat tulis, buku-buku sekolah, dan buku pelajaran," ujar dia dalam diskusi bertajuk "Perempuan dan Energi", di Jakarta (12/2/2018).?
Sementara?Nunung Nur Kurniawati dari Yayasan Al Mukhlisin mengatakan, suami-suami pasti bingung karena harus kerja lebih keras agar pendapatannya bisa mengikuti kenaikan harga listrik dan tarif-tarif lain yang mengikutinya.
"Buntut-buntutnya, setiap hari di rumah, kerja kami hanya ribut melulu karena jumlah uang yang ada tidak bisa mengimbangi kebutuhan hidup yang terus melangit. Kami inginnya, kondisi ekonomi tetap stabil, tarif listrik tetap seperti sekarang ini, syukur-syukur bisa turun," ujar Nunung.
Ketua Himpaudi (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) Rusilowati mengatakan, buntut dari kenaikan TDL itu akan membuat beban ibu rumah tangga semakin bertambah. Padahal, peran mereka sangat penting untuk mendidik anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.
Lebih jauh Sri Mulyani sebagai penggerak PKK di Bintara Jaya/Bekasi Barat mengatakan, memang bisa juga ibu rumah tangga membantu suami dengan menghasilkan produk rumahan, tetapi semua itu membutuhkan persiapan jauh-jauh sebelumnya.
Rusilowati berharap hadirnya infrastruktur yang dibangun pemerintah akan membuat segala sesuatunya menjadi efisien dan murah termasuk penyaluran energi dan bahan bakar.
Menurut dia, apabila pengiriman batu bara dapat efisien akan berpengaruh terhadap harga listrik, mengingat pemerintah sudah membangun infrastruktur maka perlunya menetapkan harga khusus bagi konsumsi batubara di dalam negeri.
Rusilowati mendukung apabila pemerintah menyiapkan pola perhitungan baru TDL dengan menetapkan harga batu bara dalam acuan (HBA) melalui skema DMO (Domestic Market Obligation) yaitu kewajiban memasok batu bara ke dalam negeri sepanjang membuat tarif listrik stabil dan menguntungkan masyarakat.
Seperti diketahui pemerintah menerapkan kebijakan baru untuk menyempurnakan skema DMO dengan menetapkan harga batu bara acuan (HBA) yang dijual untuk PLN bagi energi pembangkit listrik, yang dijual di luar PLN, dan untuk ekspor.
Saat ini naiknya harga batu bara menjadi problem serius bagi PLN yang menggantungkan 60 persennya kepada produk tambang tersebut. Setiap kenaikan harga batu bara pasti akan mendongkrak biaya produksi listrik.
Tahun 2017, akibat melonjaknya harga batu bara, biaya pokok produksi PLN pun ikut terkerek naik sampai Rp16,18 triliun. Akibatnya, laba PLN juga turun 72 persen, dari Rp10,98 triliun (Sep 2016) menjadi Rp3,06 triliun (Sep 2017).
Sebenarnya, PLN bersama pemerintah dan pengusaha batu bara pernah mendiskusikan masalah tersebut, dimana penetapan tarif dasar listrik ditentukan oleh tiga poin penting yakni harga minyak indonesia (Indonesia Crude Price/ICP), cost plus margin, dan diskon dari Harga Batu Bara Acuan (HBA). Sayangnya, belum ada kata sepakat, termasuk soal harga batu bara untuk DMO.
Saat ini Indonesia menjadi produsen batub ara terbesar keenam dunia, bahkan sekaligus menjadikannya sebagai eksportir terbesar di dunia. Mengingat kebutuhan energi listrik terus meningkat, pengendalian harga batu bara menjadi pilihan yang cukup bijak ke depannya.?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah