Klaim Kementerian Pertanian atas sejumlah pencapaian kinerjanya yang dibanggakan sudah seharusnya diuji. Pasalnya, klaim-klaim keberhasilan yang disuarakan Kementerian Pertanian berbanding terbalik dengan realitas di lapangan.
Komisi IV DPR dari Fraksi Golkar Ichsan Firdaus mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kementan perlu melakukan evaluasi serius terkait implementasi kebijakan yang diambil. Mulai dari kebijakan cetak sawah hingga program intensifikasi seperti pupuk, benih, serta peningkatan kesejahteraan pertani belum berjalan dengan optimal.
Terkait dengan program cetak sawah, pihaknya mengaku memang sengaja melakukan pemotongan anggaran yang cukup besar terhadap program ini. Alasanya, Dewan melihat terdapat masalah terkait implementasi program cetak sawah.
"Seringkali kita mendengar cetak sawah itu tidak ada irigasinya. Semestinya, irigasinya itu bukan hanya kewenangan Kementan, ada juga di Pekerjaan Umum (PU). Makanya, saya mendesak Kementan segera berkoordinasi," tegasnya.
Tak hanya itu saja, Ichsan meminta Kementan tidak mengumbar sensasi dengan menyebutkan Indoensia mengalami surplus beras. Sebab, faktanya, tiap tahun pemerintah melakukan impor beras.
"Artinya kalau kemudian, kalau memang produksi beras kita surplus, semestinya tidak impor. Mestinya harga beras tidak naik," ungkapnya.
Menurutnya, impor beras yang dilakukan oleh pemerintah ini lantaran data yang dimiliki Kementan terlihat simpang siur. Tak hanya masalah produksi saja, melainkan data luas tanam.
Senada, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yeni Sucipto menuturkan, evaluasi komprehensif terhadap anggaran dan hasil (output) kinerja Kementerian Pertanian perlu dilakukan guna menghindari terjadinya pemborosan anggaran.
"Anggaran untuk berbagai program kedaulatan pangan selama tiga tahun ini terlihat sangat besar," tuturnya, Rabu (21/2).
Untuk diketahui, di tahun 2015 Kementerian Pertanian mengalokasikan Rp16,86 triliun untuk berbagai program kedaulatan pangan. Di tahun tersebut sendiri, alokasi dari APBN untuk keseluruhan kegiatan Kementerian Pertanian mencapai Rp32,80 triliun.
Selama tiga tahun terakhir ini dana untuk Kementerian Pertanian memang tidak bisa dibilang kecil. Total dari 2015-2017, dana sebesar Rp84,58 triliun telah digelontorkan pemerintah ke kementerian tersebut untuk operasional dan berbagai program. Di 2018, APBN pun mengucurkan dana ke Kementerian Pertanian sebesar Rp22,6 triliun.
Untuk program kedaulatan pangan, program cetak sawah menjadi salah satu program yang gagal. Padahal, pagu anggaran untuk program tersebut terlihat begitu mencolok. Jika pada 2015 pagunya mencapai Rp353 miliar, di 2016 menjadi Rp6 triliun dan di 2017 dianggarkan Rp4,1 triliun.
Hingga akhir 2017, sawah yang tercetak baru sebesar 160 ribu hektare. Masih sangat jauh dibandingkan dengan target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar 1 juta hektare di luar pulau Jawa.
Dalam rencana strategis Kementerian Pertanian, program cetak sawah sudah ditargetkan sedemikian rupa tiap tahunnya. Berdasarkan rencana, pada 2015 dapat tercetak 40 ribu hektare sawah baru.
Kemudian, pada 2016 bisa tercipta 130 ribu hektare sawah baru dan pada 2017 tercetak 250 ribu hektare sawah baru. Lalu, pada 2018 target dinaikkan menjadi 280 ribu hektare sawah baru dan pada 2019 ditambah 300 ribu hektare sawah baru.
Merujuk rencana tersebut, total sawah baru yang tercetak hingga 2017 seharusnya telah mencapai 420 ribu hektare. Namun pada kenyataannya, persentase realiasasinya hanya mencapai 38,10% alias hanya 160 ribu hektare.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam suatu kesempatan mengaku senang dengan realiasi cetak sawah sebesar itu. Menurutnya, ini kenaikan tertinggi sepanjang sejarah sebab biasanya realiasi cetak sawah baru hanya 24-26 ribu hektare per tahun.
Menurut Yeni, tidak tercapainya target RPJMN inilah yang seharusnya menjadi perhatian Presiden sebagai bahan evaluasi kinerja Kementerian Pertanian. Sebab melesetnya target, lanjutnya, sangat mungkin karena sang Menteri yang menjadi pelaksananya tidak mampu menerjemahkan rencana sang Kepala Negara.
"Kalau kemudian ini sudah mau masuk tahun keempat, nyatanya sesuai RPJMN target yang tidak tercapai 50%, ini menjadi tanggung jawabnya Presiden untuk melakukan evaluasi terhadap Kementan," tuturnya.??
Ia mengingatkan, evaluasi kinerja Mentan mesti dilakukan, mengingat akan menajdi tanggung jawab Presiden saat memaparkan pencapaian RPJM kepada DPR. "Presiden kan paling tidak harus taat menjalankan RPJMN-nya. Kalaupun keputusan tertinggi, bisa saja Presiden melakukan reshuffle," pungkasnya.
Selain evaluasi oleh Presiden, internal kementerian juga seharusnya melakukan evaluasi komprehensif. Mengingat target-target produksi yang kerap pula tidak tercapai, Kementerian Pertanian perlu membuat alat evaluasi yang jelas. Tujuannya jelas, ini untuk menghindari pemborosan anggaran dan pelaku mark-up.
Sayangnya, Fitra melihat, alat evaluasi yang digunakan kementerian selama ini kurang akurat. Simpel saja, ketidakakuratan muncul karena data yang acap kali tidak sesuai.? "Padahal, data itu implikasinya kepada persoalan alokasi anggaran dan target," kata Yeni.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah