Organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia menyatakan pengawasan oleh dinas kehutanan di tingkat kabupaten perlu diperkuat sehingga bisa menjangkau wilayah yang lebih terpencil untuk mencegah perdagangan kayu ilegal.
"Pengawasan menjadi longgar sejak dinas kehutanan tingkat kabupaten dilebur ke tingkat provinsi. Dampaknya, Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) seluruhnya diserahkan ke pemerintah provinsi," kata juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Charles Tawaru dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Sabtu (10/3/2018).
Hal itu disampaikan terkait proses pengiriman 21 kontainer kayu merbau olahan ilegal dari Kaimana ke Surabaya yang berhasil digagalkan oleh Balai Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Maluku dan Papua, bekerja sama dengan Polda Papua Barat, pada Selasa (6/3).
Greenpeace menilai pengungkapan itu masih terhitung kecil jika dibandingkan praktik penyelundupan yang sudah lama terjadi di Papua.
Sejauh ini aktor besar yang melakukan penyelundupan kayu alam dari hutan Papua belum terungkap oleh penegak hukum dan pemerintah.
"Modus ini bukan hal baru demi mengelabui petugas, namun cara ini tidak hanya terjadi di Kaimana tetapi di sejumlah tempat di Papua," ujar Charles.
Greenpeace memandang lemahnya pengawasan merupakan salah satu faktor perdagangan kayu ilegal masih terjadi di Papua. Sehingga banyak kayu keluar dari Papua tanpa melalui verifikasi.
Tim gabungan Balai Gakkum KLHK Wilayah Maluku Papua dan Polda Papua Barat berhasil mengamankan 21 kontainer kayu merbau olahan di Kaimana pada Selasa (6/3).
Kayu merbau olahan tanpa dokumen alias ilegal ini direncanakan akan dikirim ke Surabaya dengan jasa EMKL PT. SPIL serta dokumen angkut atas nama CV. Duta Layar Terkembang.
Saat ini penyidik menetapkan D, pimpinan CV Duta Layar Terkembang sebagai tersangka yang diduga telah melanggar pasal 87 ayat (1) huruf a dan huruf c juncto pasal 12 huruf k dan huruf m dan/atau pasal 88 ayat (1) huruf a juncto pasal 16.
Tersangka terancam pidana denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp2 Milyar dan/atau pasal 94 ayat (1) huruf d dan pasal 19 huruf f Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman pidana penjara paling singkat delapan tahun dan paling lama 15 tahun.
Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum LHK Wilayah Maluku Papua AG Martana mengatakan bahwa kasus ini terus didalami untuk mengungkap dugaan tindak pidana yang terjadi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: