Bank Indonesia (BI) menilai rasio Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia saat ini masih cukup aman dan lebih baik dibandingkan negara lain yang tingkat ekonominya setara dengan Indonesia atau peer countries. Untuk diketahui, saat ini rasio ULN Indonesia mencapai 34,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"External debt of GDP itu totalnya ULN 34,7%. Rasio yang sama, kita ambil dari negara peer countries, tahun 2017 sampai 2018 itu rasionya 42,8%. Jadi, kita masih lebih baik dengan rata-rata negara peers," ujar Direktur Departemen Statistik BI Tutuk S Cahyono di Jakarta, Kamis (15/3/2018).
Dia menjelaskan, bahkan rasio utang luar negeri Malaysia jauh lebih tinggi dibanding Indonesia yaitu sekitar 68%. Menurutnya, Indonesia memiliki rasio yang hampir setara dengan Thailand yang mencapai 33,9%.
Sementara itu, jika dilihat rasio utang luar negeri Indonesia terhadap neraca transaksi berjalan, rasio ULN Indonesia adalah sekitar 167,7%. Posisi ini lebih baik dibanding Brazil yang sebesar 261,5% dan Turki yang sebesar 207,9%.
"Rasio external debt terhadap current account receipt menunjukkan perbaikan didorong oleh peningkatan penerimaan transaksi berjalan yang melampaui kenaikan posisi ULN. Jadi, ULN memang naik, tapi penerimaan kita juga meningkat?sehingga peningkatan di transaksi berjalan lebih besar dibanding kenaikan ULN. Ini mencerminkan adanya peningkatan kemampuan penghasilan valas dalam menanggung kewajiban ULN," tandasnya.
Asal tahu saja, posisi ULN Indonesia pada akhir Januari 2018 tercatat sebesar US$357,5 miliar atau meningkat 10,3 persen. Secara sektoral, ULN tersebut terdiri dari utang sektor pemerintah dan bank sentral sebesar US$183,4 miliar dan utang sektor swasta sebesar US$174,2 miliar. Walaupun mengalami peningkatan, ULN tersebut masih cukup aman karena didominasi oleh ULN jangka panjang.
"Kita bisa lihat sebetulnya posisi ULN tersebut sebagian besar ULN jangka panjang. Kelihatan bahwa dari posisi ULN kita, utang jangka panjang mencakup 85,9% atau sekitar US$307,2 miliar. Itu utang jangka panjang dan utang jangka pendek sekitar US$50,3 miliar atau 14,1%," ucap Tutuk.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fauziah Nurul Hidayah
Tag Terkait: