Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Menyosong Keanggotaan Indonesia di FATF

        Menyosong Keanggotaan Indonesia di FATF Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Indonesia dalam proses menjadi anggota Financial Action Task Force?(FATF), organisasi internasional antarpemerintah yang berdiri tahun 1989 untuk mengembangkan dan mempromosikan kebijakan nasional dan internasional dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris.

        Keputusan untuk memproses keanggotaan Indonesia itu dihasilkan dalam sidang pleno FATF yang digelar pada 23 Juni 2017 di Valencia, Spanyol. Proses keanggotaan Indonesia di FATF dibahas lebih lanjut pada Sidang Pleno FATF di Argentina pada Oktober 2017.

        Perkembangan terbaru dari proses itu adalah rapat antara Menkopolhukam Wiranto dengan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin, dan Kabareskrim Polri Komjen Polisi Ari Dono Sukmanto, untuk membahas progres keanggotaan di organisasi yang berkantor pusat di Paris, Prancis, itu.

        Sejauh ini terdapat 35 negara dan dua organisasi negara-negara kawasan, yakni Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan Komisi Eropa (EC) yang menjadi anggota FATF, selain 31 organisasi internasional dan regional lainnya yang menjadi anggota peninjau (associate members) dan pemantau (observers). FATF ini pernah menganggap Indonesia sebagai salah satu negara yang berada dalam daftar hitam karena rawan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

        Berbagai upaya yang dilakukan Indonesia dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme membuat FATF mencabut Indonesia dari daftar hitam itu pada Februari tahun lalu terlebih dengan keinginan Indonesia masuk menjadi salah satu negara anggota FATF.

        Sebagaimana disampaikan oleh Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin bahwa rapat dengan Menkopolhukam saat itu adalah untuk membicarakan hasil penilaian awal yang didapatkan dari tim penilai FATF serta membahas berbagai kekurangan yang masih ada. Kiagus menyebut keanggotaan Indonesia di FATF merupakan sesuatu yang sangat penting, strategis, dan perlu dilaksanakan.

        Upaya Indonesia

        Untuk masuk menjadi anggota FATF, Indonesia harus memenuhi 40 rekomendasi yang dikeluarkan oleh FATF tahun 2012 sebagai standar internasional antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

        Rekomendasi Nomor 1 Tahun 2012, misalnya mengharuskan setiap negara untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi risiko tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme atas negara tersebut, mengambil tindakan, serta memutuskan otoritas yang akan mengoordinasikan kegiatan penilaian atas risiko dan pendayagunaan sumber daya yang bertujuan untuk memastikan risiko yang ada telah dimitigasi dengan efektif.

        Sebagai bentuk konkret komitmen Indonesia terhadap implementasi Rekomendasi FATF terkait penilaian risiko, PPATK bersama pemangku kepentingan antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme yang tergabung dalam kelompok kerja antarlembaga NRA (National Risk Assessment) Indonesia, sejak September 2013 hingga Kuartal III Tahun 2015, telah melaksanakan penilaian risiko Indonesia terhadap tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dalam bentuk kegiatan NRA.

        Proses NRA yang mencakup identifikasi, penilaian, serta pemahaman terhadap risiko tindak pidana pencucian uang menjadi bagian yang esensial, baik terkait dengan ancaman, kerentanan, dan dampak dari aspek hukum, regulasi, penegakan hukum, maupun aspek lainnya.

        Secara umum, NRA sangat membantu dalam memberikan rekomendasi dalam penyempurnaan regulasi dan ketentuan terkait tindak pidana pencucian uang, baik pada tingkat mikro (internal pihak pelapor), maupun makro berupa strategi nasional.

        Dengan tersusunnya strategi nasional yang efektif dan efisien yang berdasarkan pendekatan berbasis risiko ini, diharapkan dapat melindungi Indonesia dari risiko tindak pidana pencucian uang yang tipologinya semakin berkembang dan semakin kompleks. Disadari bersama bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan ancaman serius bagi suatu bangsa (extraordinary crime).

        Di tengah derasnya kemajuan teknologi informasi dan dorongan era globalisasi saat ini, tindak pidana pencucian uang berkembang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor ekonomi.

        "Belakangan ini, PPATK mencatat sebanyak 1.119 laporan transaksi mencurigakan yang masuk pada akhir 2017 hingga awal 2018, terdiri atas 53 transaksi melalui transfer dan melalui transaksi tunai terdapat 1.066 laporan," ujar Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae.

        Dari total 1.119 laporan aliran dana mencurigakan itu, ada beberapa transaksi yang jumlahnya mencapai puluhan miliar rupiah. Laporan-laporan tersebut selanjutnya akan diidentifikasi lebih lanjut oleh PPATK agar bisa dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Kalau terkait pemilu dibawa ke Badan Pengawas Pemilu, korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi, kalau pidana ke kepolisian.

        Keanggotaan Indonesia di FATF tampaknya memang memiliki pertimbangan dan alasan kuat. Indonesia adalah satu-satunya negara G-20 yang belum menjadi anggota FATF. Indonesia perlu berperan aktif secara langsung dalam penyusunan standar internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan teroris.

        Selain itu, Indonesia perlu memiliki kewenangan untuk menyampaikan penjelasan secara langsung atas penilaian kepatuhan Indonesia atas FATF Standards. Indonesia juga perlu berperan aktif secara langsung atas penilaian kepatuhan suatu negara atas FATF Standards dalam pencegahan dan pemberantasan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan teroris.

        Peraturan Presiden

        Terkait juga dengan hal itu, Indonesia juga telah memiliki perangkat hukum perundang-undangan, seperti UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

        Dalam perkembangan terbaru, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

        Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 itu ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 1 Maret. Peraturan Presiden ini juga telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 5 Maret 2018.

        Sejumlah pertimbangan penerbitan Peraturan Presiden itu bahwa tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dapat mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, serta membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

        Selain itu, berdasarkan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, perlu adanya pengaturan dan mekanisme untuk mengenali pemilik manfaat dari suatu korporasi guna memperoleh informasi mengenai pemilik manfaat yang akurat, terkini, dan tersedia untuk umum; bahwa korporasi dapat dijadikan sarana baik langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan pemilik manfaat dari hasil tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, selama ini belum ada pengaturannya sehingga perlu mengatur penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi; Korporasi sebagaimana dimaksud dalam aturan itu meliputi perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya.

        Pemilik manfaat dari korporasi, menurut Perpres ini, merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria memiliki saham lebih dari 25 persen pada perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar, memiliki hak suara lebih dari 25 persen pada perseoran terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar.

        Selain itu menerima keuntungan atau laba lebih dari 25 persen dari keuntungan atau laba yang diperoleh perseroan terbatas per tahun, memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota komisaris, memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun, menerima manfaat dari perseroan terbatas, dan atau merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas.

        Ketentuan yang hampir sama mengenai kriteria Pemilik Manfaat dari Korporasi juga berlaku untuk yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma, dan bentuk korporasi lainnya.

        Dalam Peraturan Presiden ini ditegaskan bahwa korporasi wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai pemilik manfaat kepada instansi berwenang yang disertai dengan surat pernyataan korporasi mengenai kebenaran informasi yang disampaikan kepada instansi berwenang.

        Korporasi juga wajib melakukan pengkinian informasi pemilik manfaat secara berkala setiap satu tahun. Korporasi yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

        Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme oleh korporasi, menurut Perpres ini, instansi berwenang dapat melaksanakan kerja sama pertukaran informasi pemilik manfaat dengan instansi peminta, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.

        Kerja sama informasi pemilik manfaat antara instansi berwenang dengan instansi peminta sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, berupa permintaan atau pemberian informasi pemilik manfaat secara elektronik maupun nonelektronik.

        Peraturan Presiden ini menyebutkan instansi peminta sebagaimana dimaksud meliputi instansi penegak hukum, instansi pemerintah, dan otoritas berwenang negara atau yurisdiksi lain. Selain dengan instansi peminta, menurut Perpres ini, instansi berwenang dapat melaksanakan kerja sama pertukaran informasi pemilik manfaat dengan pihak pelapor yang menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Tansaksi Keuangan (PPATK).

        Pemberian informasi kepada pihak pelapor itu, dilakukan oleh instansi berwenang dalam rangka penerapan prinsip mengenali pengguna jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan keanggotaan Indonesia di FATF merupakan wujud atas komitmen kuat dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: